goodbye

21.9K 753 7
                                    

SISI

Sore itu langit sangat cerah. Namun kata-kata ayah dan bunda terdengar seperti petir di siang bolong. Ayah menatapku sendu, Bunda hanya menundukkan kepalanya menatap kedua tangannya yang dipangkunya dibawah meja makan.

"Apa maksud Ayah? Bunda? Bunda kenapa diem aja?", tanyaku pada kedua orang yang membesarkan aku.

"Itu benar sayang. Ayah minta maaf. Ayah dan Bunda menyembunyikan ini semua selama delapan belas tahun. Ini saatnya kamu tahu yang sebenarnya.", jelas Ayah.

Aku hanya terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Ayah. Aku? Seorang peri? Apa maksudnya? Apakah dunia ini tidak sesederhana yang ku kira? Apakah semua hal yang ada dalam dongeng itu benar-benar ada? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Rasanya kepalaku akan pecah. Bunda hanya menahan isak tangisnya sebelum Ayah kembali membuka mulut dan berbicara.

"Ayah dan Bunda berjanji akan membesarkanmu seperti anak-anak manusia biasa. Sekarang usiamu delapan belas tahun sayang. Sudah saatnya kamu tahu yang sebenarnya. Besok pagi, tepatnya tiga hari setelah usiamu delapan belas tahun, Galeo dan Ulysia, Ayah dan Ibumu akan menjemputmu dan membawamu ke nightingale. Tempat di mana seharusnya kamu berada sayang.", kata Ayah lagi. Kali ini wajahnya tampak sedih.

Aku masih terdiam. Galeo? Ulysia? Nama yang aneh dan benarkah mereka adalah orangtua kandungku? Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Semuanya begitu mendadak dan sulit diterima akal sehat. Aku ingin berteriak atau menunjukkan amarahku pada mereka berdua. Namun yang kulakukan justru sebaliknya. Aku berdiri dari kursiku dan menghampiri Ayah dan Bunda. Aku berdiri diantara kursi mereka, menunduk dan aku melingkarkan kedua tanganku di leher mereka. Menempelkan dahi kami bertiga.

"Aku sayang sama Ayah dan Bunda. Aku ngga peduli apa yang sebenarnya terjadi. Kalo besok aku bener-bener harus pergi. Malam ini aku harus menghabiskan waktu sama Ayah dan Bunda.", ucapku lirih. Susah payah aku menahan agar air mataku tidak tumpah, namun semuanya sia-sia.

Malam itu kami habiskan bertiga. Bahkan kami tertidur di sofa bed di ruang televisi. Ayah dan Bunda menceritakan banyak hal tentang asal usulku. Tentang Galeo dan Ulysia yang merupakan orangtua kandungku. Tak semuanya dapat kucerna saat itu. Aku hanya berusaha mengingat sebanyak mungkin sebelum tertidur dan membiarkan malam merayap perlahan menyambut pagi yang akan membawaku pergi.

------------------------------------------------------

Sejuk pagi menyapu wajahku ketika aku buka jendela kamarku. Warna-warni bunga yang bemekaran di taman menyambutku gembira. Bunga-bunga itu hasil karya tanganku. Bunda bilang aku bertangan dingin sehingga apapun yang kutanam dan kurawat akan tumbuh dengan baik. Namun langit seperti tahu apa yang aku rasakan, awan mendung menyelimuti langitku. Sepertinya matahari enggan tersenyum menyapaku.

Aku kembali menatap cermin di meja riasku. Seorang gadis menatapku sendu. Rambutnya hitam dan lurus melewati bahu. Matanya berwarna coklat, alisnya tebal dan rapi, hidungnya mancung dengan pipi sedikit chubby. Kulitnya putih dan berkilau. Aku menatap diriku yang berbalut dress putih selutut dengan pita di pinggangnya. Kami saling tatap hingga aku mendengar suara pintu kamarku di buka. Bunda muncul dari balik pintu.

"Sisi sayang.", panggil Bunda.

"Ya Bunda?", kataku sambil menoleh menatap Bunda.

"Kamu cantik.", kata Bunda sambil menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku hanya tersenyum.

"Ini sayang.", Bunda menghampiriku, meraih tanganku dan melingkarkan sebuah gelang berbatu kristal putih dengan dua bandul berbentuk sayap diantaranya.

"Ini apa Bunda?", tanyaku sambil memperhatikan gelang di tanganku dengan wajah berbinar. Gelangnya indah sekali.

"Itu benda yang ditinggalkan Galeo dan Ulysia saat menitipkan kamu pada Ayah dan Bunda.", jelas Bunda. Aku hanya mengangguk pelan lalu kembali menatap Bunda yang tampak sedih sambil menahan air matanya.

Aku memeluk Bunda erat dan mengusap punggungnya. Jujur saja saat ini aku sangat ingin menangis. Namun aku sadar semua itu hanya akan membuat Bunda semakin sedih. Maka aku terdiam dan berpura-pura tegar.

"Bunda jangan sedih, kalo bunda sedih, aku juga ikut sedih.", hiburku pada Bunda yang tampak kehilangan semangat.

Aku memeluk Bunda semakin erat. Mataku menyapu seisi ruangan bernuansa putih yang selama ini menjadi kamarku. Aku pasti akan merindukan kamar ini. Semua pernak-pernik yang aku miliki selama ini. Aku baru tersadar, mungkin kesukaanku mengumpulkan barang-barang berbau fairy selama ini ada alasannya. Semua itu adalah asalku.

Pintu kamarku terbuka perlahan. Ayah muncul dari balik pintu, melihat aku dan Bunda yang masih saling merangkul. Ayah menghampiri kami dan ikut memelukku sejenak. Lalu ayah melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat.

"Orang tuamu sudah menunggu, sayang.", kata Ayah lirih.

Aku mengangguk, mengikuti Ayah dan Bunda keluar dari kamar. Aku menarik koper kecilku perlahan dan menoleh sekali lagi, berharap dapat menyimpan memori tentang tempat ini sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya aku menutup pintu kamarku. Aku melangkah menuruni tangga perlahan, koper beroda itu kini ku tenteng dengan tangan kiriku sementara tangan kananku menyusuri pegangan tangga yang terbuat dari kayu jati itu, seolah aku akan merindukan setiap gurat di permukaannya.

Sesampainya di ruang tamu, aku mendapati seorang wanita dan pria yang tampaknya berusia sekitar 25 tahun sedang duduk bersebelahan. Mereka tampak gugup. Pria itu meletakkan tangannya di pangkuan wanita itu sambil menggenggam tangannya. Mereka tiba-tiba menoleh ke arahku ketika mendengar derap langkahku yang terhenti beberapa langkah di depan mereka. Mereka melepaskan pegangan tangan mereka dan segera berdiri menatapku penuh damba. Wanita itu bahkan hampir meneteskan air matanya.

"Sisi?", kata pria itu kepadaku. Aku hanya mengangguk dalam diam. Lalu mereka berdua menghambur ke arahku. Memelukku dengan erat, penuh rasa rindu. Tangis wanita itu pecah. Aku mencium aroma yang begitu manis dari tubuh mereka. Aroma yang membuatku nyaman. Aroma yang kurindukan. Ada setitik rasa nyaman mengalir di setiap pembuluh darahku tanpa bisa kujelaskan apa itu.

"Sisi, sayang. Bagaimana kabarmu dear?", tanya wanita itu padaku.

"Hmm. Aku baik. Baik sekali. Kalian..".

"Maafkan kami sayang, kami minta maaf. Kami meninggalkanmu seperti ini. Ini semua demi kebaikanmu.", kata pria itu memotong kalimatku.

Aku masih saja terdiam dan bingung. Mataku melirik Ayah yang merangkul Bunda yang kini sedang menyeka air matanya. Ayah mengangguk perlahan. Inikah orangtuaku? Tetapi mereka tak tampak seperti Ayah dan Bunda untukku. Mereka hanya beberapa tahun lebih tua daripada aku. Mana mungkin? Pikirku lagi.

Kini pria dan wanita itu melepaskan pelukannya, namun masih menatapku lekat-lekat. Mungkin mereka menangkap kebingungan di mataku.

"Kami akan jelaskan padamu dear, kami janji.", kata wanita itu padaku.

"Sekarang kita harus pergi sebelum gerbang nightingale tertutup rapat.", kata pria itu. Aku hanya mengangguk meskipun tak satupun dari kata-katanya yang aku mengerti. Sesuatu dari diri mereka membuatku begitu yakin bahwa aku harus mempercayai mereka.

Aku menoleh pada Ayah dan Bunda di belakangku. Aku menghampiri mereka dan memeluk mereka berdua sekali lagi.

"Aku sayang Ayah dan Bunda. Aku harap kita masih bisa ketemu lagi. Makasih buat semuanya Ayah, Bunda.", kataku sambil menahan tangisku.

Ayah melepaskan pelukannya dan mengelus lembut puncak kepalaku. Aku melihat Bunda tersenyum diantara tangisnya. Lalu mereka berdua melepaskan tanganku dan menatap pria dan wanita yang datang menjemputku.

"Aku titip Sisi pada kalian. Tolong jaga dia baik-baik.", kata Ayah.

"Dia anak kami, pasti kami melakukan yang terbaik untuknya. Terimakasih untuk delapan belas tahun yang kalian berikan untuk Sisi. Kami tak akan dapat membayarnya dengan apapun.", jawab pria itu.

Lalu pria dan wanita itu menggapai kedua tanganku dan membawaku keluar dari pintu depan rumah. Aku menoleh sejenak, membalas lambaian tangan Ayah dan Bunda, akhirnya air mataku tumpah juga.

"Kita mau kemana?", akhirnya aku membuka suara ketika kami sudah berjalan menjauhi pekarangan rumah.

"Ke nightingale my dear. Tempat dimana seharusnya kamu berada.", jawab wanita itu sambil tersenyum dan menggenggam bahuku. Menuntunku ke tempat yang aku sendiri tak tahu ada di mana dan seperti apa.

------------------------------------------------------

nightingaleKde žijí příběhy. Začni objevovat