Bulan Pertama ; 1.2

33.2K 3.3K 68
                                    


MAKAN paginya terganggu karena si mahluk kecil seperti paham situasi untuk membuat sang ibu kesal. Sekali suapan Galiya bisa menelannya dengan baik, begitu selesai rasa mualnya naik dan mengharuskannya memuntahkan menu apa saja yang dicoba Galiya. Berjalan menuju rumah sakit dimana dia akan berkonsultasi kesalah satu temannya yang bekerja sebagai dokter kandungan, Galiya menemukan keterikatan yang aneh. Si mahluk kecil menginginkan menu paginya adalah bakso, yang Galiya ingat sebagai makanan favorit Anan ketika mereka jajan bersama. Sedangkan Galiya memilih mie ayam dan kebetulan ini menyesakkan.

"Hm. Kamu suka bakso juga, mahluk kecil?"

Galiya mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan yang selalu dia bawa kemanapun. Mengakhiri makan paginya—yang lebih pantas disebut makan siang—pada jam setengah dua belas siang itu. Kakinya melangkah kuat, percaya diri untuk meminta bala bantuan. Meski dirinya tahu bahwa perbuatan tersebut akan ditolak mentah, Galiya tetap berusaha.

"Gue nggak paham kenapa lo mutusin cere kalo lo hamil gini."

Galiya diam dengan komentar yang dilayangkan Agustin padanya. Temannya itu tidak benar-benar paham apa yang sedang dirinya alami. Keadaan diam memang lebih menjanjikan ketimbang membalas dengan segala bantahan. "Jadi usianya belum genap satu bulan. Sehat. Detak jantungnya bagus. Tinggal nunggu bapak—"

"Gue butuh bantuan, Gus." Agus adalah panggilan kesayangan Galiya untuk teman semasa kuliahnya itu.

"Apa? Duit? Kayak sama siapa aja, sih, Gal! Gampanglah masalah biaya check rutin, mah."

"Bukan itu, Gus."

Agustin menatap bingung. "Terus apa? Lo kalo nggak kepepet biasanya nggak bakal minta tol—"

"Gue mau gugurin bayi ini, Gus."

Agustin mendadak tercengang. Mulutnya tidak bisa terkatup rapat karena sibuk mencerna ucapan Galiya yang teramat tenang untuk ukuran seorang perempuan yang dikaruniai nyawa titipan dari Tuhan. "Lo tahu, apa yang lagi lo omongin?"

Galiya mengangguk. Dari raut yang begitu santai dan normal, Agustin tahu ada yang tak beres. "Pasti ada yang lo sembunyiin dari gue, kan?"

Agustin mencoba menerka-nerka, apa hal aneh yang temannya sambungkan dengan keputusan gila tersebut. Ingatannya tajam begitu menghitung nyawa si bayi dengan selisih jarak perceraian.

"Tunggu... lo belum bilang kapan tepatnya kalian cerai! Iya... lo belum bilang kapan ke gue. Lo cuma bilang kalo lo udah jadi janda."

"Gue nggak bisa cerita sekarang."

"Nggak mau tahu! Lo minta tolong sama gue, maka lo harus jujur. Gue harus tahu alasan jelasnya."

Galiya berulang kali membuka mulutnya untuk bersuara, tapi tidak mudah untuk dikemukakan. Bayangan dirinya dan Anan yang dalam keadaan tidak benar-benar mabuk malam itu terulang dikepala Galiya. Menimang bahwa dia dan mantan suaminya sudah melakukan kesalahan besar. Napsu yang menggebu, tatapan yang saling mengadu, serta kesakitan yang mereka lebur menjadi satu... menghasilkan buah.

"Kita udah cerai satu setengah tahun lalu, Gus." Kata Galiya, mengakui. "Anak ini... harusnya dia nggak ada. Dia nggak boleh ada, Gus."

"Lo gila?!! Mana bisa lo egois gitu, Gal?!! Lo harus bilang sama mantan suami lo, bilang kalo ada nyawa yang harus kalian jaga. Mau dalam ikatan resmi atau nggak, ini menyangkut sisi kemanusiaan!" Ucap Agustin menggebu.

"Nggak bisa..." Galiya menggeleng lemah.

"Kalo lo nggak bisa bilang, gue yang akan mewakili. Kasih tahu gue alamat rumahnya! Gue kosongin jadwal hari ini—"

"Dia udah punya istri, Gus!"

Agustin kembali terpaku, tetapi menolak tak membantah. "Kenapa emangnya? Selama bapaknya mau tanggung jawab, nggak akan masalah. Lagian istrinya harus bisa nerima kenyataan kalo suaminya punya anak dari mantan istrinya."

"Gue yang nggak mau mereka tahu. Gue nggak mau anak ini nantinya dalam asuhan mereka."

Agustin menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa, sih?! Apa salahnya?!! Lo bisa—"

"Istrinya Anan sekarang... itu Tamira. Sahabatnya sejak kecil."

Agustin mengumpat saat itu juga.

The Built Breakup / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang