Bulan Pertama ; 1.3

30.6K 3.2K 39
                                    


MEMELUK tubuh Galiya dengan memberikan dukungan melalui kata-kata adalah satu-satunya yang Agustin bisa. "Pikirin baik-baik, gue nggak bisa lihat lo dengan teganya jadi pembunuh anak lo sendiri." Kata Agustin memberi usapan pada punggung temannya. Sedari di dalam ruangan tadi, Agustin tidak mau memberikan rekomendasi  pihak manapun yang bisa menggugurkan kandungan perempuan itu. Teman macam apa memangnya yang akan merekomendasikan hal tersebut? Mungkin ada, tapi tidak termasuk Agustin didalamnya.

"Makasih, Gus."

Agustin tahu hal tersebut tidak benar-benar tulus dari dalam hati Galiya. Ucapan terima kasih yang penuh dengan ketidakikhlasan. Agustin tahu temannya itu tidak akan benar-benar mematuhi ucapannya, pasti ada saja cara yang akan Galiya pikirkan untuk menyingkirkan janin dalam perutnya. Apalagi mengingat janin itu berasal dari pria yang ingin dilupakan oleh Galiya.

"Gue tahu nggak mudah, tapi yang nggak gue tahu adalah gimana perasaan lo. Kalo lo tetep keukeuh mau gugurin anak itu... jangan minta tolong sama gue. Dan jangan pernah temuin gue lagi, Gal. Ini prinsip gue."

Pembicaraan itu ditutup sampai sana. Agustin mengantarkannya hingga lobi utama rumah sakit itu, tidak peduli antrian yang duduk menunggu giliran mereka. Salah satu sikap para dokter yang merasa memiliki privasi lainnya selain mengurus orang yang membayar mahal kemampuan mereka. Meski Galiya mengatakan jangan, Agustin tetap melakukan apa yang mau dilakukannya.

"Inget, lo punya pilihan. Tapi jangan pernah panggil gue atau apapun itu ketika lo udah bulat dengan rencana lo." Sekali Agustin mengingatkan temannya itu.

Keduanya sekali saling berpelukan, tak memedulikan keadaan sekitar yang diantara banyaknya manusia di sana ada dua pasang mata yang melihat wajah pucat Galiya dan tertegun.

*

"Itu Liya, kan, Nan?" tanya Arini yang duduk dikursi rodanya.

Ibu Anandra itu selalu perhatian jika ada sosok bernama Galiya. Menantu kesayangan yang selalu menuruti apa maunya, memiliki cara terhalus untuk menolak kemauan Arini yang tak masuk akal bak anak kecil. Menantu yang suka di rumah dengan segudang keterampilannya, bukan menantu yang suka bepergian dan tak memedulikan ucapannya.

"Bawa mama ketemu Galiya, Nan!" kata wanita paruh baya itu.

Anandra terdiam di tempatnya, dia tidak membalas ataupun langsung mengikuti apa yang Arini mau. Dia mengamati bagaimana penampilan Galiya begitu berbeda dengan terakhir kali mereka melakukan kesalahan itu. Wajah wanita itu pucat dengan senyum yang selalu dipaksakan. Anan tak tahu siapakah perempuan yang berulang kali memeluk dan mengusap bahu mantan istrinya itu. Seingat Anan, Galiya jarang keluar rumah hanya untuk menemui temannya. Wanita yang teramat disiplin berada di rumah itu memang tidak lagi membebaskan diri semenjak mereka menikah.

"Anan!" Arini menepuk punggung tangan putranya dan mendongak. "Ayo, cepet! Nanti keburu Liya pergi."

"Ma... kita nggak bisa menemui Galiya gitu aja."

"Kenapa?! Mama yang mau ketemu, bukan kamu! Lepas kursinya, mama bisa sendiri kesana!" Arini masih keras kepala untuk menemui Galiya. "Cepet lepas kursi mama, Anan!"

Anan membiarkan Galiya menjauh, supaya ibunya tidak  bisa menjangkau langkah wanita yang masih begitu dicintainya itu. Anan tahu dia akan membuat Arini menangis jika dilarang menemui Galiya, sosok putri  tak kandung yang begitu dicintai.

"Anan... mama kangen sama Liya. Kenapa kamu tega begini...." Dan benar saja, Arini mulai menangis.

"Ma..." Anan berjongkok di depan mamanya.

"Ibu Arini? Kenapa menangis, Bu?"

"Agustin! Kamu kenal sama menantu ibu? Yang tadi bicara sama kamu."

Agustin kebingungan. "Mak-- maksudnya... Galiya, Bu?" tanya Agustin yang dijawab dengan anggukan semangat dari Arini. "Galiya... dia menantu ibu?"

Anan mengambil alih. "Maaf dokter... Agustin. Sebenarnya Galiya mantan istri saya---"

"Oh! Jadi lo Anandra yang suaminya Galiya itu?! Lo yang harusnya tanggung jawab, kan?! Bajingan itu lo!!!"

Seketika saja suasana ricuh dengan ucapan kasar Agustin yang spontan saja.

"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa, Nan?" Arini mendongak pada putranya dan bergantian pada Agustin yang wajahnya sudah memerah karena amarah.

The Built Breakup / TAMATWhere stories live. Discover now