Bond

30 1 0
                                    

Bus melaju meninggalkan keriuhan pelabuhan. Langit mulai terang, aku sibuk dengan sketsa pertamaku liburan ini : Sunrise Merak - Bakauheni.

Selesai. Tanganku mulai membubuhkan tandanya di pojok kiri gambar.

"Bond?" Perempuan di sebelahku melafalkannya.

"Ya?" Kataku melihatnya sambil menutup sketchbook. Wajahnya tersipu. Baru ini aku menatapnya lekat meski kami duduk sebangku sejak tour dimulai semalam. Beberapa kali sempat kucuri pandang dirinya saat sarapan di warung pagi tadi, tapi tidak sedekat ini.

"Maaf, gak sengaja terbaca."

"Gak apa."Kuambil ransel dari bawah kursi, lalu memasukkan sketchbook ke dalamnya. Mataku lelah, mungkin tidur sebentar sebelum tiba di Dermaga Ketapang membuatnya segar kembali.

"Aku Babal." Katanya bersamaan dengan klakson bus berbunyi kencang.

Seketika kutoleh ia, untuk memastikan pendengaranku tepat.

"Roya Baldha. Tapi dipanggil Babal." Ia tersenyum. Manis. Sepertinya lelah di mataku pulih karenanya.

"Babal." Gumamku spontan sambil mengangguk.

Lalu kami bercerita panjang dan lebar tanpa terasa. Ia menyebut nama perusahaan periklanan tempatnya bekerja empat bulan ini. Katanya, penat di kantorlah yang membuatnya ikut rombongan. 

"Aku freelance. Perusahaan besar lebih tertarik dengan ijazah daripada skill. Lagipula, kerja kantoran tidak terasa cocok untukku. Kurang fleksibel."

"Kalau begitu, kamu pasti gak punya pacar?"

"Baru putus." Sahutku enggan. "Ada hubungannya?"

"Ada dong. Kan.." Kalimatnya terpotong. Ponsel di tangannya berkedip. Sesaat, ia sibuk sendiri.

"Kekasih?" Tanyaku, ketika telepon genggamnya padam.

"Iya." Dia membetulkan posisi duduk. "Sampai mana tadi?"

***

Snorkeling di Pulau Kelagian, Karang Cukuh Bedil, Gosong Bekri, dan Taman Nemo terasa istimewa. Bukan hanya karena tempatnya tapi karena Babal disana. Menikmati keindahan sunset dan pesta Barbeque di Pulau Pahawang juga sembari berkisah dengannya.

Waktu berlarian. Klakson berbunyi tiga kali, kapal akan berangkat meninggalkan Bakauheni.

"Aku menggambarnya semalam. Semoga kamu suka." Kataku merobek selembar kertas dari  sketchbook dan memberikannya.

"Bagusnya." Ia memandangi gambarku. "Terimakasih banyak." Katanya menatapku dengan mata berkaca. Ia tersenyum. Aku membalasnya.

"Hmm..." Babal hendak mengucap kata tapi urung. Aku menunggu.

"Bolehkah kamu tulis nomermu disini? Kalau- kalau aku ingin menghubungimu." Katanya pelan.

Belum sempat kujawab. Ia terburu mengambil dompet dan mengeluarkan kartu nama. "Begini saja. Kamu bisa menghubungiku, bila perlu."

"Ohh.. iya." Aku menerimanya.

Kemudian kami saling diam hingga pemandu tour mengucap salam perpisahan. Aku memandangnya lekat sebelum akhirnya kami berpisah tanpa kata.

Pikiranku memutar kenangan demi kenangan selama liburan. Lalu membayangkan beribu 'seandainya' yang tak mungkin jadi kenyataan. Jam menunjuk pukul 10 malam. Aku tiba di kos, kujatuhkan kartu nama dari genggaman di tempat sampah depan kamar.


Tapi semua tak kulakukan
Kata orang cinta mesti berkorban
(Lagu Untuk Sebuah Nama ~ Ebiet G Ade)


Flash Fiction - Dari Sebuah LaguWhere stories live. Discover now