Tanggal Dua Empat

25 1 0
                                    

Kamar ini masih sama, pintu di sebelah kiri lemari, jam dinding di atas pintu, kasur di bawah jendela, meja dengan semua peralatan makan di samping kasur menghadap ke pintu, beberapa buku bertumpuk di sebelahnya bersandar pada dinding. Aku berada di tengah barang berserakan di lantai, memegang ponsel di tangan kanan, dan menunggunya mengetuk pintu. Atau setidaknya, menanti sebuah pesan bahwa dia, Risma, kekasihku, di depan dan menungguku.

Berkali- kali kubaca chat yang ia kirim siang kemarin, ia akan kesini tanggal 24, hari ini. Bodohnya, aku tidak bertanya jam, atau bagaimana ia akan kesini. Naik kereta kah? Naik bis kah? Atau seperti sebelum- sebelumnya, entah bagaimana ia muncul tiba- tiba di depan pintu, kemudian mata coklatnya berbinar mengharap aku terkejut dan merasa senang. Nyatanya, memang aku senang, bahkan tanpa ia perlu melakukannya.

25 pesan untuknya tertunda sejak pagi tadi. Tak berbilang, ratusan kali telponku dijawab oleh mesin. Ali menelponnya di sela- sela tugas kantor, di waktu makan siang, hingga saat perjalanan pulang. Bahkan, sempat berharap akan menemukannya terlelap di kamar saat aku membuka pintu. Ia pernah melakukannya.

Setelah beberapa menit melepas lelah sepulang kerja, bayangan Risma terlintas, aku merindukannya. Tapi kali ini lebih dari itu, aku mencemaskannya hingga kuputuskan untuk menunggunya di teras tepat di depan kamar. Aku khawatir ia tidak bisa masuk karena kuncinya tertinggal, juga tidak bisa menghubungiku karena ponselnya kehabisan baterai, seperti biasa.

Tangan dan kakiku terasa gatal dijamah nyamuk ganas selama 3 jam menunggu tanpa hasil. Wajah Risma lagi- lagi membayang, saat ia kesal diganggu nyamuk di warung Bakso Pak Mat. Ia menepuk pipinya sendiri hingga membekas merah telapan tangan dan bersumpah tidak akan kembali kesana.

Punggungku yang berat seketika menegak saat suara motor berhenti di depan kontrakan. "Eh.. Makasih Bim," Dito sama terkejutnya denganku saat gerbang kubuka.

"Mau keluar?" Gak, jawabku. Ia lantas menyalakan motornya dan masuk ke garasi. Aku masuk kamar sebelum ia mengajakku begadang lagi demi pertandingan bola malam ini.

Dua jam sebelum Subuh, aku sempat tertidur meski sedang duduk di tengah kamar dengan ponsel di tangan kanan. Aku terbangun karena kepalaku terantuk meja, juga karena mimpi buruk tentang Risma. Pikiran tentangnya tampak bagai nyata, membuat kekhawatiranku semakin menjadi. Dtambah lagi dengan curiga yang menyelinap entah darimana, membuatku ragu ia lupa dengan hari ini, yang berarti lupa padaku.

Suara gemerincing kunci dibuka berbarengan dengan berakhirnya adzan Subuh. Sudah banyak kali sejak semalam aku kecewa oleh harapan Risma yang sedang membuka pintu, kuabaikan suara itu. Tidak ada suara kendaraan yang digiring masuk, langkah kaki pelan mendekati kamarku. Dalam gerak lambat, aku menyambar pintu yang kubiarkan tak terkunci.

"Loh? Mas Abim?" Risma terkejut sewaktu aku memeluknya. "Kok sudah bangun sih? Aku kan pengen kasih kejutan!" Risma lalu mengomel tentang ponselnya yang basah kehujanan dan rusak, aku sudah tak mendengarnya.

"Kenapa?" Aku bingung melihatnya tertawa lepas saat usai bercerita tentang seharian kemarin.

"Tunggu... tunggu, perutku sakit." Risma memegangi perutnya sembari mengambil nafas di tengah tawanya. "Kemarin baru tanggal 23, Mas!"

Kadung tresno ning sliramu, dhuh wong ayu
Ra eling dino lan wektu
Ning ati katon ra biso ilang, soyo suwe soyo ra karuan
(Lungiting Asmoro ~ Didi Kempot)

Flash Fiction - Dari Sebuah LaguWhere stories live. Discover now