Memories (2)

32 1 0
                                    

Dengung hair dryer membangunkan Gery pagi ini. Matanya mengerjap sesekali, silau oleh sinar mentari yang menerobos tirai putih di kamarnya.

"Nat!" Suara lelaki dari ruang sebelah terdengar begitu keras. Langkah kakinya mendekat. Wajahnya memerah menahan marah. "Kamu sengaja, ya? Setiap pagi menempatkanku di posisi seperti ini?"

Setengah sadar, kepala Gery mendongak mencari sumber suara. Suara yang ia kenal betul. Suaranya.

Nat menoleh. "Sepagi ini, kita akan bertengkar lagi?" Ia mematikan mesin pengering rambutnya. Mengambil pouch merah yang gendut oleh alat make up. Mengepas sepatu, lalu mulai berjalan.

"Sudah beberapa hari aku ditegur karena telat kantor, Nat. Cobalah untuk hidup lebih terjadwal." Lelaki itu melembutkan suaranya. Ia merengkuh Nat dalam pelukan dan mengecupnya singkat.

"Ge, seharusnya kamu yang coba untuk memikirkan pendapatku. Kita coba dulu, sebulan?"

Lelaki itu membuang nafas cepat. "Oke. Sebulan. Kalau kemampuan mengemudimu masih payah, kita jual lagi mobilnya. Deal?"

"Deal!" Nat menjawab dengan penuh semangat. Ia tersenyum lebar, lantas berjinjit untuk membalas kecupan.

"Tunggu! Jangan Nat.. Jangan!" Kata Gery berusaha keluar dari selimut yang separuh membungkus tubuhnya. Sementara Nat dan lelaki di pintu telah berjalan menjauh.

Gery berdiri meski tubuhnya terasa berat. Ia minum terlalu banyak lagi semalam. Sial, kakinya terbelit oleh selimut yang susah payah dilemparkannya. Membuatnya terjatuh tepat di depan meja rias, tempat Nat barusan merapikan rambut indahnya.

Gery menggapai mesin pengering rambut di atas meja. Lama, ia memandanginya. Mencari jejak Nat disana. Tak ada.

Kesadarannya kini telah seluruhnya. Dadanya mendadak terasa sesak.

There's a time that I remember, when I did not know no pain
When I believed in forever, and everything would stay the same

Flash Fiction - Dari Sebuah LaguWhere stories live. Discover now