Bab 17

334 29 4
                                    

Bukannya menenangkan, yang ada malah diamuk sama Mas Danu. Emang ya, punya laki kalau jauh dari kata peka lebih ngeselin, loh!

"Astaga, Ra! Kenapa lagi ini?"

Seketika aku terbangun duduk, menatapnya dengan perasaan campur aduk, antara marah, kesal tapi takut juga. Air mataku masih saja mengalir tanpa bisa dibendung.

"Mas Danu tuh ngapain sih di kamar sama Mba Dea?" tanyaku langsung. Aku sudah tidak bisa lagi menahan, biasanya mengalah, kali ini aku tidak akan mau. Aku harus tahu langsung dari Mas Danu.

"Maksudmu, apa?" Mas Danu sepertinya tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi.

Entah dari mana aku mendapat keberanian seperti ini. Cemburu kah? Tapi, sebenarnya aku memiliki alasan kenapa sampai bertingkah seperti ini.

"Alah, nggak usah pura-pura nggak tahu gitu! Mas Danu pernah ada apa-apa kan sama dia?" suaraku naik satu oktaf sambil tanganku menunjuk ke arah pintu kamar.

Sontak Mas Danu berdiri, "Ya ampun, Ra! Mas tadi hanya temani Alfa sebentar, kamu tahu sendiri Alfa ke sini, panggil Mas."

"Ya tapi ngapain juga harus kayak gitu di kamar bareng sama dia? Di bawa ke sini, kan bisa?" Aku masih saja ngotot.

Dia yang kumaksud sudah pasti Mba Dea, sepupunya Mas Danu. Sambil menghapus air mata yang masih saja mengalir, aku memutuskan kontak mata dengan Mas Danu yang terlihat marah. Tidak ada jawaban, aku langsung membaringkan tubuhku memunggunginya.

Aku heran dengan sikap cueknya Mas Danu, masa iya dia tidak mengerti sama sekali maksudku. Dia dengan Mba Dea itu memang sepupu tapi hati kecilku tidak akan bisa dibohongi, melihat bagaimana tatapan Mba Dea ke Mas Danu itu seperti tatapan memuja. Belum lagi melihat balasan sikap Mas Danu terhadapnya yang tidak sesantai jika berhadapan dengan Mba Sekar. Bagiku, meskipun mereka sepupu, tapi bisa saja kan mereka memiliki perasaan diam-diam.

Sejak aku tidak sengaja mendengar percakapan Mama dengan Mas Danu, aku memang gelisah. Jadi bingung mencari tahu siapa yang mereka bicarakan. Kalau aku bilang dia adalah Mba Dea bisa saja, tapi masa iya Mama bilang Papanya masih bersahabat dengan Papanya Mas Danu.

Malam ini aku lelah menghadapi hormon tubuhku yang membuat hatiku lebih sensitif berkali lipat. Kuputuskan untuk menyelesaikan masalah dengan tidur. Bukan selesai tapi lebih ke pelarian. Memikirkan hal yang bisa membuatku lebih sedih sebisa mungkin kuhindari karena akan berpengaruh ke janin. Calon bayiku pasti akan ikut merasakan. Aku tidak ingin itu terjadi.

Setelah kami berdebat, aku mendiamkannya. Dia keluar sejenak lalu masuk kembali ke kamar. Diam-diam kutatap punggungnya yang sedang duduk di sofa kamar ini, menghadapi laptop. Dia lebih memilih bekerja daripada menjelaskan kesalahpahaman kami.

***

Pagi yang suram membuatku terbangun pagi-pagi sekali. Aku tidak juga langsung mandi, justru hanya cukup dengan sikat gigi lalu menunaikan kewajiban subuh.

Ketika membuka mata, aku sama sekali tidak melihat Mas Danu di kamar ini. Sejak semalam, dia tidak memberikan jawaban apapun yang memuaskan. Baginya berada di kamar yang sama dengan sepupu perempuan adalah hal yang biasa. Tapi, bagiku tidak biasa. Apalagi aku bisa merasakan hal lain diantara mereka berdua.

Suasana pagi  di rumah ini menjadi lebih ramai. Beberapa sudah duduk di meja makan yang panjang, saling menunggu untuk sarapan bersama. Kecuali anak-anak yang sepertinya masih berada di kamarnya karena masih tidur.

Aku berusaha menekan rasa ingin tahuku pagi ini tentang keberadaan Mas Danu. Mataku berusaha fokus ke arah dapur, melihat para asisten di rumah ini menyiapkan sarapan. Aku memang tidak membantu mereka di dapur karena Mama melarangku tadi.

Menu sarapan kali ini membuat perutku sedikit lebih berselera. Ada pancake, jus, nasi goreng, roti, kerupuk sebagai pelengkap nasi goreng, beberapa telur rebus dan telur mata sapi yang di goreng setengah matang. Mataku memindai satu per satu hidangan di atas meja ini. Sepertinya ada yang kurang, pikirku. Hampir saja aku beranjak ingin menyiapkan minuman lemon hangat, Mama sudah lebih dulu meletakkannya di depanku. Minuman yang selalu aku siapkan untuk Mas Danu.

"Danu, mana? Kita mau sarapan bareng loh." Papa duduk di kursi yang ditariknya sendiri sambil bertanya.

Aku menyukai kekompakan di keluarga ini. Ritual makan bersama selama di rumah ini benar-benar menunjukkan keharmonisan. Lihat saja, tidak ada yang memulai sarapan jika semua yang ada di rumah ini tidak berkumpul di meja makan.

"Pagi, semua."

Belum sempat aku menjawab, kurasakan seseorang duduk di sebelahku. Kecupan singkat mendarat di kepala. Mata kami bertemu sesaat. Sedikit lega karena aku tidak perlu menjawab pertanyaan Papa yang aku sendiri juga tidak tahu keberadaannya.

Aroma tubuhnya yang basah membuatku menyukai setiap tarikan napasku. Sepertinya Mas Danu selesai olahraga, terlihat dari sisa-sisa keringatnya di kening. Kupenuhi paru-paru dengan semua bau badannya. Mungkin anakku yang menyukainya kan, karena ini adalah hal yang tidak biasanya. Tanpa kusadari, hidungku mengendusnya. Gerak tubuhku mengikuti arah bau yang kuinginkan. Aku tidak mengerti dengan reaksi tubuhku. Hampir semua menatapku dengan heran dan bisa dipastikan aku tidak menyadari tatapan mereka sampai ada yang nyeletuk.

"Yaelah, itu ngidam atau apa, Nu? Cepetan sarapan, terus ke kamar. Kasian itu bayinya nanti ileran." itu sepupunya Mas Danu yang memang paling suka nyeplos kalau bicara.

Lalu suara tawa riuh menjadi hiburan pembuka di meja makan, bahkan ada yang berdehem menggoda. Tubuhku menegang kaku menyadari tingkahku yang memalukan. Bisa-bisanya aku tidak mengontrol diri. Sungguh memalukan. Mataku melirik ke kanan mendapatinya mengulum senyum. Bukan karena rasa malu, tapi lebih menahan untuk tidak ikut menggodaku juga. Ingin rasanya kubenamkan wajah ini yang sudah terasa panas menahan malu.

Padahal baru semalam kan aku marah dan mendiamkannya? Berbeda dengan Mas Danu yang sepertinya tidak terjadi apa-apa semalam. Huh!

tbc.

Yeay! Mas Danu kembali 😆

BERI AKU CINTAWhere stories live. Discover now