Bab 13

325 35 28
                                    

Rasa nyaman sudah terlanjur menjadi alasan utama untuk kami bisa sampai ke bahtera ini. Kami mengarungi bersama melabuhkan perasaan karena sebuah kenyamanan yang kami ciptakan dalam sebuah hubungan sakral.

Dari sebelum terjadi pernikahan, Aku dan Mas Danu sampai saat ini tidak memiliki pengakuan cinta. Kami kenal lalu menjadi dekat, merasa nyaman dan nyaris tidak ada pertengkaran. Tidak ada momen yang menjadikan bahwa kami memulai komitmen hubungan ini. Seperti air yg mengalir saja. Itu juga yang membuat rasa yakin dan percaya hadir begitu saja di hatiku. Aku tidak menemukan keburukannya, atau mungkin aku yang tidak begitu peduli selama kami saling memberikan kenyamanan. Faktanya adalah kami tidak pernah saling mengusik dan membicarakan masa lalu. Kami itu dua orang yang selalu saling ada. Satu hal lagi, bahwa kami tidak pernah saling curhat. Obrolan kami hanya seputar keseharian yang di lewati hari ini, tidak ada hal yang bisa dijadikan sebuah gambaran atau momen untuk dikenang.

Tapi sejak menikah, aku merasakan banyak hal yang justru membuatku ingin menuntut lebih. Apakah aku butuh pengakuan saat ini? Aku rasa belum. Hanya saja aku mulai terusik dengan hadirnya masa lalu.

Ingin rasanya aku mempertanyakan tentang siapa dia yang tadi Mas Danu dan Mamanya bicarakan. Sulit rasanya menepis rasa ingin tahu yang sebenarnya tidak berpengaruh pada hubungan kami. Ah, hormon sialan bisa saja yang menjadi pengaruh dalam hubungan kami.

Malam ini aku semakin gelisah hingga begitu sulit untuk memejamkan mata. Aku mulai membuat rencana yang tidak penting di otakku saat ini. Rencana untuk mengetahui tentang dia. Aku mulai mencoba mengingat-ingat kehadiran orang-orang di acara tadi. Mungkinkah aku harus mencurigai Mba Sekar? Tapi tadi Mas Danu dan Mba Sekar terlibat obrolan biasa. Kalau memang dia orangnya, seharusnya aku bisa menangkap perubahan sikapnya Mas Danu yang menjadi canggung. Justru Mas Danu bisa tertawa lepas dengan Mba Sekar.

Hm, ngomong-ngomong soal Mba Sekar, aku akui tadi cemburu melihat kedekatan mereka. Bagaimana tidak, aku terus yang berusaha mengakrabkan diri justru mendapat sikap dingin dari perempuan itu.

"Ish, kenapa, sih, dia begitu sama aku?" tanpa sadar aku berucap dan memelas sama diri sendiri.

Coba tadi ada Thalia, pasti aku bisa ... "Ah, kenapa aku nggak bertanya langsung saja dengannya? Bego, bego, bego! Ke mana aja pikiran itu selama ini?! Oke, paling nggak nanti aku harus janjian dulu dengan Nyonya Aditya itu. Aku akan ..." ucapanku terputus karena Mas Danu terbangun dan menatapku heran.

"Kenapa belum tidur? Kamu lagi telponan? Hm? Sama siapa? Lagian ini sudah jam berapa, Ra?" Aku langsung menggeleng. Tapi pertanyaannya yang panjang kayak gitu membuatku ingin tersenyum geli. Belum juga dijawab satu-satu.

"Maaf, aku ..." belum selesai aku menjawab, Mas Danu kembali berbaring.

"Sudah! Sekarang tidur. Kamu nggak kasian Ra, sama anak kamu." Mas Danu menarik selimut sampai ke dagunya dan  menghadap ke arahku.

"Iya, iya. Anakku aja, bukan anak kita." sindirku. Aku langsung ikut berbaring juga. Aku mulai sedikit tenang karena sudah mendapatkan solusinya.

***

Pagi ini aku dan Mama mertuaku masak bersama ditemani dengan beberapa asisten di rumah ini. Hari ini sedikit istimewa karena ternyata bertepatan dengan anniversary pernikahan mertua. Tidak ada pesta, hanya makan-makan keluarga di rumah. Dan Mas Danu yang seharusnya hari ini ke kantor justru harus terbaring lemah karena kondisinya yang lemas dan mual.

Aku sempat membujuknya untuk ke dokter. Tapi kata Mama tidak usah, biasanya itu bawaan bayi. Masak iya, gantian Mas Danu yang kena morning sickness? Karena aku sudah tidak pernah mengalaminya lagi. Malah bawaannya lapar dan ingin makan melulu, jadi rasa mual dan muntah hilang.

Jadilah kepulangan kami ditunda lagi karena nanti malam keluarga dari pihak Mas Danu akan berkumpul kembali. Aku kembali ke kamar membawakan makanan untuk Mas Danu yang dari pagi tidak juga keluar kamar.

"Mas, makan dulu." kataku sambil membawa nampan yang berisi sereal dan jus buah. Aku pikir Mas Danu masih terbaring lemas, ternyata dia duduk di atas ranjang sambil memangku laptopnya. Huft. Kalau sudah begini mana berani aku menegurnya.

Aku hanya meletakkan nampan tadi di atas nakas persis di sebelahnya. Baru saja aku mau menuju kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar.

Tok, tok.

"Danu?" suara perempuan yang aku yakini itu adalah Mba Sekar, eh, masak dia? Kayaknya juga bukan. Aku hanya asal menebak.

Aku langsung memalingkan wajah melihat Mas Danu yang langsung bergegas membuka pintu kamar.

'What the hell?' batinku berteriak. Baru saja aku menawarkannya untuk makan, tapi hanya diam yang kudapatkan. Dan saat ini, hanya sekali panggilan bisa membuatnya langsung berdiri untuk menghampiri si pemilik suara yang berada di depan pintu kamar.

tbc.

Yuhuuuu ada yang bisa tebak kira-kira siapa? Sekar kah? Atau ada yang baru? 😌

BERI AKU CINTAWhere stories live. Discover now