Bab 8

340 41 8
                                    

Aku sedikit terkejut mendengar nama tamu Mas Danu. 'Sekar kan temannya Mas Danu, pikirku.' aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan menunggu saja. Aku membuka-buka majalah kemudian melirik jam, sudah 15 menit berlalu.

Aku mencari Iris sejenak, tapi tidak ada. Aku berjalan menuju pintu ruangan Mas Danu, sedikit mendorong dan melihat ke dalam. Aku terpana melihat Mas Danu dan Mba Sekar di dalam sedang makan siang bersama. Kalau ini sih bukan dari perusahaan, tapi kunjungan pribadi.

Aku berjalan cepat menuju lift sambil menyeka air mataku. Ya, aku nangis. Aku melewati Iris yang sepertinya bingung melihatku. Aku tidak peduli, aku hanya berjalan menunduk menutupi tangisku.

"Eh, Bu. Mau ke mana?" tanyanya.

Aku menjawab tanpa menoleh, "Saya pulang saja. Sepertinya Bapak Danu memang sibuk."

Kudengar suara langkah kaki mendekatiku. Aku sedang menunggu lift tapi tak kunjung terbuka. Rasanya waktu berjalan lambat. 'Ini lift kenapa lama banget sih! Masa iya rusak.' Sebelum langkah itu semakin dekat, aku mencari tangga darurat.

"Bu, ini ..." suara Iris hilang bersamaan pintu yang menuju tangga darurat tertutup.

'Bodo amat.'

Aku kecewa saat melihat Mas Danu lebih memilih tidak pulang hanya karena urusan pribadi. Apalagi aku dibiarkan menunggu seperti tadi. Sampai di lobi bawah aku segera keluar, menuju pos satpam, minta tolong sama penjaganya untuk mengambilkan motorku. Aku tidak menghiraukan lagi ponselku yang daritadi berbunyi.

Bapak satpam tadi yang kutitipkan kunci motor berjalan sampai tergopoh-gopoh, "Maaf Bu, perintah dari Bapak Danu, saya disuruh antar Ibu kembali ke ruangan Bapak, sekarang."

Aku diam saja sambil menyeka air mata yang tidak juga berhenti. Dari tempat ini aku melihat perempuan itu berjalan keluar dari kantor kemudian menaiki mobil yang sedang menunggunya.

"Oh, jadi dia sudah pulang. Ck!" Aku menggerutu pelan.

"Eh, siapa, Bu?" Satpam itu bertanya.

"Bukan siapa-siapa. Pak tolong ambilkan tas di dalam bagasi motor, sekalian bawakan ke ruangan Pak Danu." Aku berdiri memberikannya rantang makan siang tadi.

Dia menatapku bingung, "Ini buat makan siang. Bapak belum makan kan?" tanyaku.

"Nggak usah, Bu. Buat Bapak aja." Satpam ini menolak halus.

"Tenang, Pak. Dia sudah makan." Kuletakkan tempat makanan itu di atas kursinya. Aku berjalan masuk kembali ke kantor Mas Danu.

Mas Danu baru saja keluar dari lift, melihatku yang berjalan menuju ke arahnya. Dia menatapku tajam.

"Ayo, naik." suara dingin Mas Danu membuatku sedikit takut.

Dia menggandeng tanganku, sedikit menarikku menuju lift. Begitu lift terbuka, kami masuk bersama. Kami saling diam sampai berada di dalam ruangannya.

"Duduk." perintahnya.

Aku duduk sambil menunduk. Air mataku kembali menetes. Aku terisak. Ada rasa marah yang tidak mampu aku luapkan.

"Ya ampun, Ra." Dia mengusap kasar wajahnya. "Tunggu sebentar." Mas Danu keluar dari ruangannya. Tidak lama dia masuk kembali menutup pintunya kemudian menguncinya.

Aku masih belum berhenti dan suara tangisku semakin kencang ketika Mas Danu masuk kembali. Mas Danu langsung mendekapku, mengusap kepalaku. Dia melakukannya sampai aku diam, tanganku kemudian memeluknya erat.

"Sudah, nangisnya?" Aku hanya mengangguk tanpa berani melihatnya.

"Sekarang, lepas dulu. Mas mau bicara." Aku tidak juga melepaskan pelukanku.

BERI AKU CINTADonde viven las historias. Descúbrelo ahora