Kick oleh David Rohadi

Start from the beginning
                                    

Ah, seandainyasaja sepeda yang kunaiki ini mengalami kecelakaan di turunan itu.

Sejujurnya aku takut mati—ya, ingin mati hanya gara-gara ekskul rasanya terlalu berlebihan.Tapi, seandainya akumengalami patah tulang, aku bisa terbebas dari kewajiban ikut kompetisi.

Aku tidak pernah menghitung berapa kali tuhan mendengar doaku. Yang jelas doa terbesar yang kupanjatkan—untuk berhenti dari taekwondo—belum terkabul. Namun, aku tidak pernah menyangka dari sekian banyak harapan malah harapan barusan yang terkabul. Dan ini buruk.

"Awas!"

Aku tidak sadar apa yang terjadi. Segalanya berlangsung cepat. Baru di detik-detik terakhir aku tersadar dari lamunan gara-gara teriakan dariujung jalan menurun ini. Sayangnyasemua sudah terlambat. Saat sepenuhnya sadar, hal pertama yang kurasakan adalah nyeri di lutut dan siku. Sedangkan hal pertama yang kulihat adalah wajah seorang cowok tengah meringis kesakitan sambil mencengkeram erat kaki kirinya.

"Haikal?" Aku mengenal cowok itu. Cowok tegap berkulit coklat itu adalah Haikal, kapten tim sepak bola di SMA-ku.

Haikal menoleh, tampak ingin mengatakan sesuatu tapitidak bisa.Yang dia lakukan hanyalah menggertakkan giginya menahan sakit. Mungkin akan lebih baik bagiku jika aku menerima dampratannya. Namun alih-alih makian, yang kulihat malah wajah penuh penderitaan. Itu tandanya aku dalam masalah besar.

***

Dibantu seorang pemuda, aku membawa Haikal ke klinik dekat sekolah. Untuk beberapa saat lukaku sama sekali tidak terasa sakit, mungkin pengaruh adrenalin. Rasa perih itu baru kembali setelah Haikal dibawake ruang terpisah untuk menerima perawatan.

Pemeriksaan yang dilakukan terhadapku berlangsung lebih cepat.Yang menanganiku seorang perawat, sedangkan dokter utamanya menangani Haikal.Perawat itumemeriksa lukaku sekilas, menbersihkannya, lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester.

Haikal baru keluar dari ruang sebelah sepuluh menit setelah aku selesai diobati.Tubuhnya yang tegap dipapah seorang dokter wanita.

"Syukurlah tidak sampai patah tulang, hanya keseleo." Dokter wanita itu berbicara padaku, seolah ingin mengendurkan ketegangan di wajahku. "Asalkan satu bulan ke depan tidak melakukan kegiatan yang berat, kakinya akan pulih sepenuhnya."

Dokter wanita itu pergi setelah memercayakan Haikal padaku. Sepeninggalannya, suasana jadi semakin canggung. Bangku klinik yang kami duduki terasa semakin dingin.Kulirik Haikal di sebelah, wajahnya nampak gusar. Aku yang tak bisa menahan rasa bersalahpun akhirnya bicara, "maaf."

Tidak ada jawaban.

"Aku tadi melamun....Nggak lihat kamu di ujung turunan.Saat sadar tahu-tahu kamu sudah tertabrak," jelasku gelagapan. "Tapi untung saja kata dokter kamu cuma keseleo biasa, ya."

Haikal akhirya menoleh. Namun caranya menatapku sungguh tidak menyanangkan. "Cuma keseleo lo bilang? Cuma?"

"Maaf."Aku langusng ciut, tertunduk, dan mencengkeram rok abu-abuku di bagian lutut.

"Gara-gara lo naik sepeda sambil melamun gue jadi begini."

"Maaf," ulangku pelan. Aku tidak pernah suka situasi semacam ini. Bukan karena tidak suka dimarahi, tapi karena aku tahu bahwa akulah yang salah. Tiba-tiba saja aku teringat pada ayahku. Di hadapan pria paruh baya itu, aku juga selalu merasa kecil.

"Lo pasti nggak sadar dampak keteledoran lo!"

Tentu aku tahu ini semua salahku.Namun, aku tetap tidak tahan menerima semua amarah Haikal. Aku harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku. Kalau hanya kata maaf, jelas-jelas Haikal tidak akan menerimanya.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now