Jilid 33/33

971 12 0
                                    

Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar sambil bercakap-cakap, kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.

"Kenapa mereka belum juga pulang?" gumam Suma Ceng Liong. "Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang."

"Mengapa mesti merasa tidak enak?" isterinya membantah. "Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andai kata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti."

"Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biar pun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang juga akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua."

Isterinya memandang dengan wajah berseri. "Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?"

"Mengapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal di seluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal di antara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat."

Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.

"Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, " katanya.

"Kenapa tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, juga sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tapi tidak tahu sama sekali."

Isterinya menyentuh lengan suaminya. "Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah sering kali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersyukur kalau ada orang yang dikasihinya 'pulang kampung' karena terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam."

"Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya bila sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita."

Percakapan mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka.

Setiap tahun sekali, semenjak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru). Dan kunjungan mereka kali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yang sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.

Tan Sin Hong yang sekarang telah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah.

Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda. Dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah datang berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.

Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira. "Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!" kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. "Mari silakan duduk di dalam."

"Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang," berkata Kam Bi Eng sambil tersenyum ketika melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.

"Bibi, ia pergi kemanakah?" tanya Hong Li heran.

"Duduklah dulu dan nanti kita bicara," kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.

Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu mengenai kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.

"Ke Bhutan?" Kao Hong Li berseru kaget. "Tapi tempat itu amat jauh dan perjalanannya berbahaya sekali!"

Suaminya juga sangat terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.

"Sian Li mendesak dan kami tak dapat mencegahnya. Apa lagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suheng-nya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah mempunyai ilmu kepandaian yang cukup untuk dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!" kata Suma Ceng Liong.

Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang akan membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.

"Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.

"Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan Sian Li di sini, Bibi!" kata Hong Li.

Suma Ceng Liong tersenyum. "Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggota keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga dari tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka."

Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan itu sangat menggembirakan. Membayangkan akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu saja sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.

Selama beberapa hari menunggu kedatangan Sian Li beserta Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggota keluarga. Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu sudah berkembang menjadi sangat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggota keluarga secara lengkap akan memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggota keluarga lain.

"Kita mulai dahulu dari keluarga Istana Pulau Es," kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.

"Sebaiknya kita susun dari anggota keluarga yang paling tua berikut keluarga masing-masing," usul isterinya.

"Benar sekali," kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. "Sekarang ini anggota keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui."

Hong Li mengangguk senang. "Memang, agaknya Ibuku itulah yang paling tua di antara keluarga Suma."

"Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggota tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir," kata Suma Ceng Liong. "Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka."

Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Dan setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.

Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari:

Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng, serta anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.

Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi yang kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.

Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, yang tinggal di kota Ping-san di selatan Pao-teng, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.

Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.

Ada pun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua yaitu Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.

Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama, Sim Hok Bu, akan tetapi anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki lebih dulu dengan menanyakan kepada anggota keluarga lain.

Keluarga lain yang mereka catat adalah anggota keluarga dari Lembah Gunung Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibunda Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka, bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tdak pernah memberi tahu.

Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga dari perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.

"Jangan dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biar pun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."

Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh dari pada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja.

Pada hari kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.

"Ibu...! Ayah...!" Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya.

Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu. Hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Oleh karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang.

Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya serta kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han. "Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu... siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.

Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya, "Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"

Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasehatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suheng-nya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.

"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah... tewas..."

Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini, terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.

"Tewas? Sian Lun... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"

"Panjang ceritanya..." Sian Li mengeluh.

Kemudian dia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama jubah hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, serta orang-orang Pek-lian-kauw.

"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga." Dan dengan panjang lebar Sian Li kemudian menceritakan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.

"Beberapa kali aku terancam bahaya maut dan tentu sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.

"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.

"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.

Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu. "Suhu dan Subo, harap maafkan teecu..."

"Yo Han...!" suami isteri itu berteriak.

Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walau pun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera dapat mengenalinya dan keduanya cepat keluar dari serambi. Dengan gembira Sin Hong lalu menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.

"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!" seru Sin Hong.

Wajah Sin Hong berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.

"Yo Han, sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sangat sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.

"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan berbicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi oleh Ang-I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.

"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit Naga adalah satu perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku juga pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."

Sin Hong dan isterinya amat terkejut. "Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" Sin Hong bertanya sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.

"Apa yang barusan diucapkan Suma Locianpwe memang benar. Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ke tiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya. Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suheng-nya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki dan tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Setelah beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar. Ban-tok Mo-ko serta Thian-te Tok-ong lalu saling menyalahkan ketika mendengar kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan serta membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali ke jalan benar."

"Ciu Lam Hok...? Hemm, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.

"Ayah, nama Han-ko sebagai Sin-ciang Taihiap sudah sangat terkenal di daerah barat. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya..."

"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu saja."

Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan rasa penasaran ini, hanya tersenyum gembira.

"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suheng-mu," Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.

Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong. Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau dia berbohong.

Bagaimana pun juga, Sian Lun sudah tewas, dan harus dia akui bahwa pada saat-saat terakhir, Sian Lun sudah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa. Jika dia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Tapi bagaimana pun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil 'jalan tengah'.

Sian Li menceritakan lebih jelas tentang semua pengalamannya bersama Sian Lun saat mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.

"Aku bersama Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya," katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apa lagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng bisa membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Tapi lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri dapat terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk di dekatku dan yang selalu melindungi aku."

Suma Ceng Liong menghela napas panjang. "Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimana pun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat ikut melawan gerombolan itu disamping Sian Lun."

"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak merah karena ia menahan tangisnya.

"Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.

Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji akan membantu Suma Ceng Liong untuk menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan keluarga besar itu.

Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga terpaksa menceritakan semua pengalamannya secara lengkap, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now