Jilid 7/33

972 12 0
                                    

Kaisar sudah duduk di singgasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun yang dikawal pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah buntalan kain kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun.

Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan 'ban-ban-swe' (panjang usia), Ciang Sun tetap berlutut dan menanti perintah.

"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau telah membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan milik Hong-houw?"

"Benar sekali laporan itu, Sribaginda."

"Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.

"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan ia pula yang mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba kemudian menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh semangat.

Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh pada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu.

Kaisar memberi isyarat kepada pengawal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."

Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain merah yang ditaruh di atas lantai di depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning.

Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk dijadikan korban, supaya seorang pembunuh dapat menyelundup masuk!

Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga sedang melirik kepadanya, kemudian dia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Dia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.

"Buka peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya.

Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.

"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong.

Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutkan alis dan marah kepada pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.

"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"

Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.

"Dia... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya! Memang hamba sudah menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sinkiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sinkiang karena hamba mendengar mereka hidup sangat sengsara. Sama sekali bukan perhiasan yang pernah hamba dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!"

Tiba-tiba Siang Hong-houw telah meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singgasana Kaisar.

Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya amat diharapkan akan membantunya, dan bahkan sudah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.

"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!"

Teriakan ini melengking nyaring, mengejutkan semua orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biar pun dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang ke arah Kaisar.

Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Pada waktu dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.

"Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam.

Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.

Tentu saja peristiwa itu lantas menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapat sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar makin percaya kepadanya.

Akan tetapi peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena dia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri.

Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya. Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya.

Peristiwa ini sudah demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga sejak terjadinya peristiwa itu, ia tak pernah sehat lagi, selalu sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun kemudian, dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang belum tua benar.

Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya, pemerintahan Kaisar Kian Liong mengalami kemunduran dan pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biar pun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now