Jilid 13/33

878 11 0
                                    

Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.

"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."

"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."

"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"

"Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."

"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"

Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!

Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.

"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.

Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.

"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.

Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.

Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.

Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.

Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.

"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.

Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.

Yo Han yang telah mahir 'menari' itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,

"Engkau orang jahat, pergilah!"

Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.

Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.

"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.

"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"

Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"

"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"

"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka, kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"

"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"

"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"

Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.

Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.

Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"

"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"

"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"

"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"

"Yo Han, kau lihat apa ini?"

"Suhu memegang tongkat!"

"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"

"Tentu saja!"

"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"

"Tidak."

"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"

Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"

"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"

Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."

"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"

"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"

"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.

Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.

Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now