Jilid 19/33

864 15 0
                                    

"Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biar pun mereka sudah terluka."

Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu sudah payah sekali, dan jika dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sinkang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.

"Jiwi Supek, maafkan saya!" katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu.

Kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.

Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras, kemudian tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, lalu dia cepat duduk bersila sambil memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, kemudian bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.

Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah dari pada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suheng-nya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan.

Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun amat terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, ia pun menderita luka hebat!

Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan ia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.

"Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu..." kemudian dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. "Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu..." Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.

Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. "Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku...!" Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.

Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. "Lauw-suheng, kedua orang Supek kini telah tewas...!"

"Haaa...?!"

Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.....

*****

Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supek-nya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.

Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lainnya.

"Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru pada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apa lagi pada saat Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Seperti berlayar di tengah samudera, yang paling penting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan dapat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan dapat kita pergunakan untuk melakukan kejahatan."

Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. "Yo Sute, terima kasih atas nasehatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat dari penyelewengan yang sudah kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang dapat mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri."

"Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik."

Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhu-nya telah dapat dia laksanakan dengan baik. Kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhu-nya, yaitu adik suhu-nya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhu-nya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali.

Dia pun meninggalkan Thian-li-pang dan menuju ke kota raja.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin