Jilid 15/33

957 11 0
                                    

Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.

Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.

Tan Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak.

Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum 'mengisi' tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.

Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.

Ketika dia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.

Orang itu sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.

Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu akan bermalam di kota ini.

Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ahh, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar memang sudah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Hotel itu bernama 'Thai Li-koan' (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga prajurit pengawal."

"Tapi, yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.

"Memang ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."

Hong Li yang amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.

Melihat mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada mereka.

Setelah mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa.

Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Walau pun malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk...!" Hong Li membentak marah.

Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk...!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.

Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia mencabut golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.

Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.

"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik..., baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah Ang-I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"

Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.

Tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Walau pun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apa lagi jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian Li mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.

Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.

Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima.

Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu.

Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.

Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh.

Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang tentunya membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Kiranya Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.

Saat Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.

Demikianlah, karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah 'membuat jasa' dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena sudah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.

Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.

Ang-I Moli bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"

"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?"

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"

"Aihh, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang-I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Sebab itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menunggu kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

"Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting." Hong Li lalu menceritakan dengan suara lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.

"Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!" serunya khawatir. "Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?"

"Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li," kata Sin Hong dengan sikap serius.

"Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali."

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

"Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar."

"Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?"

"Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang," kata Sin Hong.

"Andai kata urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk menjengukmu, Sian Li," kata Hong Li.

"Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali."

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka meninggalkan tempat itu.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن