Duabelas

13.7K 1.8K 143
                                    

Safira melihat Maria tersenyum - senyum ke arah Mario. Lha kok tetiba sahabatnya jadi ganjen dengan pak Mario ya? Tapi Safira justru merasa senang sih. Itu berarti Maria sudah berniat untuk melupakan Yudha. Sebuah keputusan yang harus di dukung. Karena jika pak Mario benar - benar jadian dengan sahabatnya itu, persoalan audit pasti pas yang senantiasa membuat Safira muyeng dapat teratasi. Maklum untuk mendaftarkan audit saja bos mereka sudah menggelontorkan dana yang lumayan. Dan setiap kali hasil audit gagal, Safira dan pegawai kantor lah yang selalu mendapat teguran dari si Manajer yang somvlaknya sebelas dua belas dengan Rico.

"Pak Mario hari ini mau makan apa?" tawar Safira pada pria yang sedang sibuk mengisi berkas laporan. Menurut kode etik sih, pihak SPBU dilarang menyediakan makanan dan minuman untuk auditor. Karena dikhawatirkan mempengaruhi keputusan auditor dalam memberikan penilaian. Tapi jika SPBU menganggap pak Mario adalah tamu, wajar kan ya? Masa tamu agung dianggurin. Padahal ia berada di SPBU hampir seharian.

"Hari ini saya ingin mengajak Mbak Maria makan di luar. Boleh kan?" Mario mengalihkan perhatiannya sejenak dari blangko yang harus ia isi, untuk menatap Safira.

Bibir Safira tersenyum lebar. "Oh, silakan! Pak."

********

Maria dan Mario duduk saling berhadapan di sebuah restoran. Wajah keduanya sama - sama kikuk karena bingung bagaimana untuk memulai percakapan.

"Maaf!" ucap Mario berusaha memecah kebisuan di antara mereka berdua. "Sikap saya saat itu mungkin sangat keterlaluan."

"Saya juga minta maaf, karena sudah menyakiti Bapak." balas Maria sambil menundukkan kepala ketika ingat sikap frontalnya saat itu. Terbiasa menjalani hidup keras bersama seorang penjahat kambuhan membuat tubuh Maria memiliki refleks melindungi diri yang lumayan bagus. Sebenarnya bisa saja ia melanjutkan sekolah di Akpol maupun Akmil. Tetapi nama ayahnya yang sudah masuk daftar hitam kepolisian membuatnya gagal seleksi administrasi.

Mario hanya meringis mendengar permintaan maaf Maria. Terbayang betapa sakitnya tendangan lutut yang dilancarkan gadis itu. Untung Maria tidak menyerangnya di bagian yang vital. Jika iya, hancur sudah masa depannya.

"Saya...." Mario dan Maria mengucapkannya hampir bersamaan. Mereka bertatapan sebentar sebelum akhirnya Mario mempersilakan Maria untuk berbicara lebih dulu.

"Bapak dulu, deh!" tolak Maria. Karena ia merasa belum siap untuk bicara. Rasa mindernya membuatnya ragu untuk mengutarakan maksud lebih dulu.

"Baiklah, saya dulu yang bicara." Mario mengalah. Setidaknya ia bisa merasa lega sudah mengungkapkan perasaan menyesalnya, karena telah membuat hati seorang gadis terluka oleh ucapannya.

"Saya berjanji, mulai hari ini tidak akan mengusik kehidupanmu lagi. Ini sekaligus pamitan. Karena bulan depan, perusahaan merolling tugas saya di daerah lain."

Ucapan Mario membuat Maria terperangah. Hatinya mendadak terasa kacau. Berpisah dengan Mario adalah sebuah hal yang melegakan. Tapi kejelasan akan status mereka yang masih menjadi teka - teki akan menghantui seumur hidup.

"Sebelum Bapak pergi, bolehkah saya mengajukan sebuah permintaan?" Maria mencoba menguatkan hati untuk mengutarakan maksudnya.

"Apa itu?"

"Saya bersedia untuk di tes DNA. Tapi Bapak harus mau menjadi kekasih Safira meskipun nanti hasil tes itu menunjukkan jika kita bukan saudara se ibu."

Mario menatap Maria sambil menautkan alisnya. "Kalau kita tidak bersaudara, kita bisa pacaran dong!"

Jawaban Mario membuat Maria mengerucutkan bibirnya. "Saya tidak mau mempunyai kekasih seorang mother complek." penolakan Maria membuat Mario tertawa terbahak.

"Jawaban yang cerdas!" Mario mengacak kepala Maria.

Maria segera menepis tangan besar yang sedang mengacak kepalanya. "Ish...!! Karena kita belum jelas statusnya, jangan sentuh - sentuh saya.

"Oke...oke!" Mario menjauhkan tangannya dari Maria. "Lalu mengapa kamu mengajukan syarat itu?"

"Karena, Safira adalah satu - satunya sahabat yang saya miliki...."

Selanjutnya cerita mulai mengalir dari bibir Maria, membuat Mario mencelos dan membuang pandangannya agar gadis itu tidak tahu, jika ia pun ingin menangis mendengar cerita masa lalu gadis yang ia yakini benar sebagai adiknya.

*******

Maria dan Mario keluar dari lab setelah diambil darah untuk tes DNA. Namun hasilnya baru akan keluar minggu depan.

"Saya antar pulang ke mana ini?" tanya Mario yang tampak bingung.

"Antar saya kembali ke SPBU saja, Pak." ucap Maria sambil sibuk memasang sabuk pengaman.

"Kok ke SPBU. Jam kerja kamu sudah selesai kan?"

"Kan motor saya masih ada di sana, Pak."

"Oh iya." Dengan tangkas, Mario mengeluarkan mobilnya dari area parkir dan mengemudi dengan hati - hati membelah jalanan yang padat merayap.

"Kita sudah selangkah lebih dekat ini ya?" goda Mario dengan nada riang. Karena tanpa mengetahui hasil tes DNA itu pun, dirinya 100% yakin jika Maria adalah adik kandungnya. Potongan puzzle yang ia gabung dari cerita masa lalu Maria dan cerita sang ibu benar - benar cocok.

"Jangan merasa yakin dulu!" Maria menegur Mario, membuat tangan kiri pria itu kembali terulur untuk mengacak - acak kepala Maria.

Kali ini Maria tidak mengelak. Hatinya justru mengharu - biru. Seperti ini kah rasanya memiliki seorang kakak? Seperti inikah bahagianya diperhatikan dan di sayang. Tapi seandainya hasil tes DNA itu menunjukkan jika keduanya bukanlah saudara, mau dikemanakan hatinya yang terlanjur dilanda euforia ini?

"Apakah kamu kos?"

"Rencananya sih begitu. Tapi karena demi persiapan audit pasti pas, sementara ini saya menumpang tinggal di mess kantor. Tapi kadang - kadang saya diminta menginap di rumah Safira" Maria menjelaskan.

"Kalau begitu kamu kemasi barang - barangmu. Kamu tinggal saja di rumah kontrakkanku."

********

"Jadi kamu tinggal di kontrakkannya pak Mario? Kok bisa?" Maria segera membekap bibir Safira. Cilaka dua belas jika teman - temannya tahu ia kumpul kebo dengan pak Mario. Sehancur - hancurnya hidup Maria, ia pantang menjajakan diri ataupun penjual cerita menyedihkan demi mendapatkan simpati para lelaki. Naudzubillah, Mek!

"Pak Mario bilang, bulan ini tugas auditnya di kota ini selesai. Dan bulan depan pak Mario harus bertugas ke kota lain. Karena masa kontrak rumahnya masih lama, beliau memintaku untuk menempati rumah itu."

"Apa, Pak Mario mau dipindah? Yah... Auditornya bakal diganti lagi dong. Hauuu.... Nasib pasti pas SPBU kita di ujung tanduk inih..." Safira memegangi kepalanya. Ia sudah merasa nyaman dengan pak Mario sebagai auditor, kalau diganti auditor lain bisa - bisa mulai dari nol ya, Bang!

Maria yang tidak paham birokrasi hanya mengangkat bahu. Itu bukan urusannya.

"Kalau kamu nggak ingin bingung soal audit pasti pas, kenapa kamu nggak pacaran sama pak Mario saja!"

Teguran Maria membuat Safira melongo "Bukannya kamu yang berpacaran dengan pak Mario?"

Maria menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Enggak, kemarin aku mau di ajak pak Mario itu karena ingin menyomblangi kamu dengan beliau."

"Apa?"

"Iya. Sudah waktunya kamu move on dari Rico." Maria menepuk bahu Safira. "Dan orang yang tepat untuk membantumu move on adalah M-A-R-I-O!"

Tbc

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang