🌅 Havika: 06

1.9K 464 18
                                    

“Tau nggak, Nda, aku tuh nggak pernah nyesel ngelepasin kesempatanku untuk meraih gelar sarjana demi hamil, ngelahirin dan ngurusin Havi.”

“Aku gak pernah nyesel meskipun aku gak pernah nyelesaiin kuliahku dan drop out saat memasuki semester empat.”

“Yang aku sesalin, kenapa aku dulu nerima lamaran kamu padahal aku masih sembilan belas tahun dan berakhir seperti ini. Berakhir dengan kamu yang lambat laun makin bosen sama keberadaanku. Bukan Havi penyesalanku, tapi kamu.”

Kalimat panjang di pagi hari itu sukses buat pagi Handa kelabu. Satu jam yang lalu ia hanya menyapa Silvia, memberanikan diri untuk memeluk sang istri yang tengah menyiapkan sarapan dari belakang.

Namun, kalimat panjang nan menusuk itu malah terlontar keluar begitu saja dari mulut Silvia. Buat pertahanan Handa di pinggang sang istri melemah dan lepas turun begitu saja.

Bukan Havi penyesalanku, tapi kamu.

Dan di detik ini, Handa baru sadar jika Silvia sudah mengorbankan banyak hal setelah memutuskan untuk menerima lamarannya dan menikah dengannya.

Kuliahnya yang hanya berakhir di awal semester empat.

Kehidupan masa mudanya.

Hamil dan mengurusi anak mereka di saat ia seharusnya mengejar cita-citanya untuk meraih gelar sarjana seperti teman-temannya yang lain.

Handa, Handa sudah mendapatkan segalanya yang ia mau. Gelar sarjana hingga S2, mendapatkan posisi manager di sebuah bank, dan mendapatkan sosok Silvia yang sejak dulu ingin ia miliki.

Tapi apa? Handa malah dengan egoisnya membalas semua pengorbanan Silvia dengan rasa sakit yang bisa buat perempuan itu tak sudi untuk melihatnya lagi.

Kenapa kamu harus jadi sejahat itu sih, Nda?

Havi, bocah berpiyama gambar Grizzly itu baru saja bangun dari tidurnya, keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur sembari mengucek matanya dengan sebelah tangan yang ia kepalkan.

“Mama..” Panggilnya dengan suara yang masih agak parau.

Silvia yang tengah menyiapkan piring pun langsung berhenti melakukan aktifitasnya, berbalik dan menghampiri sang putra yang berdiri di sebelah kulkas dengan wajah mengantuknya.

Silvia berlutut, mengusap pelan puncak kepala Havi. “Eh, anak Mama udah bangun. Mau langsung mandi?” Tanya Silvia dengan lembut dan bocah enam tahun itu langsung mengangguk pelan, buat Silvia tersenyum.

Silvia bangkit berdiri, menggandeng tangan Havika. “Ayo Mama ambilin han—”

Namun, Handa yang juga ada di sana langsung menahan tangan Silvia, buat perempuan yang tadinya tersenyum itu berubah muram.

“Kenapa?” Silvia berusaha mengontrol nada bicaranya agar tak terkesan dingin di telinga putranya.

“Biar aku aja yang siapin handuk sama bajunya Havi. Kamu lanjut bikin sarapan aja.” Handa tak berani tersenyum, ia takut semakin membuat muak Silvia.

Silvia kembali mengusap puncak kepala putranya. “Havi sama Papa aja gak apa-apa?” Tanyanya, buat si anak mendongak dengan mata sayunya, kemudian mengangguk kecil.

“Gak apa-apa.” Suara Havi benar-benar imut.

Perlahan Silvia melepaskan genggaman tangannya dari Havika. Antara ikhlas dan tak ikhlas melepaskan putra kesayangannya kepada Handa.

Gantian Handa yang menggenggam tangan kecil Havika, membawanya pergi kembali ke kamar untuk mengambil handuk dan baju ganti.

Silvia masih diam di tempatnya, memperhatikan gerak-gerik Handa dari ambang dapur.

HAVIKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang