15. Kehilangan

7.1K 328 77
                                    

"Gimana menurutmu?" Papa menatap Ayu lurus.

Gadis itu menunduk, memainkan dua jempol dalam gerakan saling melingkar. Dia tak bisa menjawab. Lidahnya terasa berat seolah terhimpit beban ribuan ton.

Yudha tertawa kecil mengingat bagaimana pembicaraan mereka di mobil pagi ini. "Papa udah bilang tadi, sebenernya udah ada yang minta kamu sebelum ini."

Dahi Ayu mengernyit. Informasi yang barusan didengarnya benar-benar mengejutkan.

"Tapi kita sama-sama sepakat biar kalian aja yang saling kenal pelan-pelan sampe akhirnya dia sendiri yang datang buat ngelamar kamu."

Kini alis Ayu nyaris bertaut. "Memangnya siapa yang minta?"

Yudha tersenyum menatap si gadis yang penasaran. "Sekarang ngga penting lagi. Dia udah kalah cepet sama Sam."

Ayu menghempaskan punggung ke sandaran kursi.

"Jadi, gimana menurutmu?" Yudha mengembalikan pembicaraan ke jalur yang benar.

Gadis itu tak menjawab. Matanya memperhatikan langit kusam Jakarta di kejauhan.

"Kalo menurut Papa, dia akan jadi suami yang baik buatmu," pria paruh baya itu melanjutkan kalimatnya. "Tapi dia tentara...." kata-kata menggantung di udara.

Ayu bersedekap tanpa mengalihkan pandang dari langit.

"Kamu masih ngga mau jadi istri tentara?"

Selarik udara ditarik Ayu perlahan. Benar, ceritanya pasti berbeda kalau Samudera bukan tentara. Gadis itu memejamkan mata, membayangkan lelaki kecintaannya dalam profesi lain.

Tak bisa. Tentara adalah identitas pemuda itu, yang mendasari gerak langkah dan tingkah lakunya. Jika dia bukan tentara, Ayu bahkan tak bisa membayangkan dirinya jatuh cinta.

"Jadi, apa Papa harus menolak pemuda sebaik itu hanya karena dia seorang tentara?"

Ayu bergeming. Lidahnya terasa kaku.

"Kata Rasulullah, diam berarti ya," desak Yudha, "apa Papa bisa menerima lamaran Sam?"

Ayu melipat bibir di antara barisan gigi. Kata-kata tersekat di pangkal tenggorokan.

Yudha menatap si anak gadis tak berkedip. Kalau penerawangan istrinya tidak salah, jauh di lubuk hati, Ayu pun menyukai pemuda itu. Namun pria paruh baya itu menunggu. Menunggu ketegasan terucap dari mulut manisnya.

Gadis itu bergeming. Jempolnya masih bergerak saling melingkar. Saat ini bahkan ia tak begitu yakin apa yang jadi kehendak hati.

"Papa itung sampai tiga. Kalo kamu masih diem aja, Papa akan menjawab sesuai sunnah Rasul."

Ayu menutup muka dengan dua tangan.

"Satu."

Dalam tangkup tangan, gadis itu menghela napas dan mengembuskannya perlahan.

"Dua."

Ayu menggeleng seraya menarik napas lagi.

"Ti..."

"Ngga bisa, Pa," jawabnya menahan rasa.

"Ngga bisa?"

"Aku ngga bisa bahagia ngebayangin jadi istri tentara. Yang kebayang langsung sedih, makan ati, disabar-sabarin." Ayu mengembuskan udara keras. "Aku ngga akan sanggup," katanya lagi, "kalo pun dipaksain, aku akan menjalaninya dengan setengah hati. Dan itu ngga akan bagus buat karir dia."

Papa mengangguk-angguk. Diambilnya roti bakar yang sudah berhenti mengepulkan asap. "Roti bakarmu paling enak sedunia," katanya setelah gigitan pertama.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang