12. Perasaan

3.4K 252 13
                                    

Perjalanan bolak-balik Jakarta-Bogor sangat melelahkan bagi Ayu. Bukan hanya keletihan fisik yang dirasakan. Psikisnya pun terasa sangat lelah.

Nuansa kecewa di wajah Salju terpapar jelas siang tadi ketika secara tidak langsung Satria menolak untuk hadir pada sidang skripsinya. Ayu hanya bisa merangkul untuk menguatkan hati. Ini akan jadi momen penting pertama yang harus dilewati gadis berkulit putih itu tanpa pendamping. Selanjutnya bisa jadi wisuda, diterima kerja pertama, atau merayakan gaji pertama. Asal jangan sampai ketika akad nikah pun tak bisa hadir, karena dia yang akan jadi mempelainya.

Melihat ekspresi di muka Salju seperti melihat kakak sendiri terpuruk dalam lumpur hisap tanpa bisa berbuat apa-apa. Ayu sudah menjelaskan semua konsekuensi yang mungkin dihadapi. Apa pun jalan yang dipilih gadis Minang itu, bukan lagi menjadi tanggungjawabnya.

Selepas maghrib, saking lelah dan peningnya, Ayu langsung menutup pintu kamar dan menghempaskan badan ke tempat tidur. Ketika terbangun, jam ponsel menunjukkan pukul dua pagi dan perutnya melilit minta diisi.

Tanpa menyalakan lampu, ia menuruni tangga dengan melompat-lompat kecil. Dalam keremangan pencahayaan dari teras, sesosok berpakaian putih terang mengejutkannya hingga terpeleset.

Gravitasi menarik tubuh langsingnya tanpa basa-basi. Ayu pasrah. Berteriak seraya menutup mata. Tiba-tiba gerakan meluncur jatuh terhenti. Sesuatu melingkari pinggang dengan mantap. Rasanya seperti lengan Samudera yang memapah saat Makrab lalu. Aroma segar lemon bercampur wangi melati memenuhi rongga penciuman seketika.

Gadis itu membuka mata. Udara hangat meniup tepat di pipi. "S-Sam?" suaranya bergetar, berusaha meyakinkan bahwa yang dilihat bukanlah hantu.

"Kalo turun tangga tuh, jalan. Bukan lompat," suara bariton itu terdengar sangat familiar.

"Iya," lirih suara Ayu berusaha menenangkan debar jantung sambil menjejakkan kaki lagi di anak tangga.

"Mau ngapain?" tanya lelaki itu begitu mereka sudah berdampingan menuruni tangga.

"Laper, mau makan."

"Makanya, waktunya makan, makan. Jangan tidur," kalimat Samudera disambut lirikan tajam dari Ayu. "Mau makan apa? Ikutan, dong," katanya lagi ikut melangkah menuju dapur.

"Kirain mau sholat?" cibir Ayu menunjuk baju koko dan sarung yang sudah rapi di badan.

"Tadinya," jawab Samudera rileks, "tapi wudhuku udah batal gara-gara kamu, jadi ikutan makan aja dulu."

Ayu memeriksa kulkas sementara Samudera duduk di meja bar yang memisahkan dapur dari ruang makan. "Aha!" serunya begitu menemukan pizza base di freezer, "kita bikin pizza!"

"Oke, aku bisa bantu apa?" Samudera bangkit dari duduk dan mendekat ke kompor.

"Duduk aja, deh," tolak Ayu, "ntar baju kamu kotor. Itu kan mau dipake sholat."

Samudera mundur kembali ke meja bar kemudian melepas baju koko dan sarungnya.

"Heh?" Ayu nyaris tak bisa berkata-kata melihat adegan di depan mata. Ada lelaki berbadan bagus buka baju tanpa malu, membuatnya harus menelan ludah membayangkan apa yang ada di balik kaus oblong tipis itu.

Samudera melipat sarung dan menyampirkannya di kursi tinggi. "Siap, aku bantu apa?"

"Kotak-kotak."

"Ha?"

"Eh," Ayu menggelengkan kepala, mengusir imajinasi seksi yang melintas. "Smoked beef," katanya menyodorkan seplastik daging asap berbentuk lingkaran, "potong kotak-kotak."

Samudera mengangguk, mengambil pisau beserta talenan dan siap memotong. Pipi Ayu menggembung, menahan udara dari paru-paru sejenak sebelum melepaskannya sekaligus. Tangannya agak gemetar. Entah karena kadar gula darah yang makin menipis dalam tubuh atau sebab berada berdua saja dengan lelaki berbadan kekar di tengah malam.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Where stories live. Discover now