Pulang

109 15 0
                                    

Dengan menaiki perahu kecil, aku dan Adam mengarungi lautan menuju ke dataran di seberang. Tidak terlalu jauh sebenarnya, namun karena beberapa kali di lamun ombak sehingga cukup sulit untuk sampai dis ana. Tetapi kuakui, lelaki ini cukup tangguh dan terampil mengendalikan perahu kecil ini di laut lepas. Mungkin karena ia sudah menyatu dengan alam, yang setia menemaninya selama setahun belakangan. Dengan cara ini pula lah ia membawaku dari kampung saat menculikku dulu. Hanya saja ketika itu aku tidak sadarkan diri, sehingga tak kurasakan kekhawatiran menempuh perjalanan di tengah laut seperti ini.

"Kau tidak takut, Ainin?"tanya Adam mengusik lamunanku.

Aku tersenyum menolehkan kepala ke arah lelaki itu," Bersamamu tentu saja aku merasa aman."

"Hei, jangan terlalu kuat menggerakkan tubuhmu, bisa oleng perahu ini,"sela Adam mengalihkan. Ah lelaki ... setangguh dan sekeras apapun ia, jika dipuja oleh perempuan bakalan luluh juga.

Selang hampir sejam-an di atas perahu dipermainkan ombak, akhirnya kami berhasil mencapai daratan. Aku ingat di tepian hutan bakau ini bersama Farid ketika itu, yang berbuntut kemarahan Zairin. Kemudian aku dan Adam berjalan memasuki hutan yang basah.

Teringat sesuatu, kutatap lekat lelaki yang berjalan di sisiku, lalu bertanya,"Jadi bagaimana caramu membawaku melalui hutan ini kemarin?"

Adam tidak langsung menjawab, malah tersenyum penuh arti,"Menurutmu gimana?"

Ditanya malah balik bertamya, membuatku semakin penasaran dan menduga-duga,"Jangan-jangan ... kau menggendongku ya?" Aku bertanya sambil memelototkan mata.

"Memangnya orang yang sedang tak sadarkan diri bisa jalan sendiri?" tukasnya masih dengan nada seolah menertawakanku.

"Ih kamu! Awas ya kalau kamu macam-macam!"sahutku

Sambil tergelak ia mengacak rambutku,"macam-macam gimana? Bukankah itu sudah berlalu. Lagipula jauh lebih indah jika "macam-macam" nya dalam keadaan sadar."

Sejujurnya, ungkapan jujurnya membuat aku tersipu. Kualihkan pandangan ke pepohonan yang ada di sekeliling kami. Aku tahu Adam mengerti dan memilih untuk tidak mengusikku lagi. Di sisi lain, ada yang pedih terasa di sudut hatiku. Rasa cinta yang mulai tumbuh dan bersemi ini serasa akan kembali kuncup, begitu aku kembali ke rumah. Aku juga tahu, Adam pun merasakan hal yang sama. Mungkin kami salah, menafsirkan arti kebersamaan ini terlalu cepat. Logika sempat tak berperan, tenggelam dipermainkan gulana cinta yang nyaris tanpa arah. Ah biarkanlah waktu yang akan berbicara. Di dermaga mana haluan akan berlabuh.

Dalam senyap kami meneruskan perjalanan hingga sampai di perbatasan hutan. Tepi sungai tempat aku dan Farid bermain sambil bercerita.

"Tunggu, waktu kau menculikku, aku ke sini mengendarai sepeda. Tetapi tak lulihat ada di sekitar sini sepeda itu sekarang,"ujarku sambil mencari-cari keberadaan sepeda itu.

"Betul, waktu itu ada sepeda tersandar dis amping pohon itu,"sahut Adam sambil menunjuk ke arah pohon.

"Berarti orang-orang sudah menemukan sepedaku dan membawanya pulang,"ucapku.

"Baiklah Ainin, hanya sampai di sini aku mengantarkanmu. Kembalilah kepada keluargamu, teruskan hidup dan masa depanmu. Terima kasih untuk tigapuluh hari beraamaku,"ucap Adam lirih.

"Bagaimana jika aku ingin bertemu?"tanyaku sembari menundukkan wajah.

"Biarkan waktu yang menjawab," bisik Adam di telingaku. Lalu secepat kilat ia mengecup keningku kemudian berbalik dan berlari ke dalam hutan. Kuusap manik bening yang menitik di sudut netraku. Lalu aku pun berjalan pelan meninggalkan tepian sungai menuju perkampungan.

Tergetar hatiku saat menginjakkan kaki memasuki halaman rumah ayah. Menyeruak kerinduan teramat sangat pada sepasang manusia terkasih itu. Terbayang wajah ibu senantiasa menangis setiap kali aku kembali ke kota ketika liburan usai. Kupercepat langkah menuju tangga rumah. Sepi mencekam meliputi suasana rumah. Terasa berbeda, tak seriuh biasanya.

ELUSIFWhere stories live. Discover now