Pesimis

112 14 0
                                    

Pantai ini masih seperti kemarin, setia menanti gemuruh ombak menyalibnya setiap saat. Lalu pergi dan berlalu, untuk kemudian datang kembali mengempas. Begitulah seterusnya, tak pernah saling mengkhianati. Tak 'kan pernah ada yang mampu memisahkan ombak dan pantai. Adam masih terdiam di sampingku. Nanar netranya menatap jauh ke tengah laut. Kubiarkan saja angannya mengembara.

"Hatiku begitu kacau melihat tubuh Naya tergeletak bersimbah darah, sementara tubuhku masih lemah tak berdaya,"ucap Adam.

"Kau terluka?"tanyaku. Lelaki itu mengangguk pelan.

"Aku berusaha bangkit dan sebisanya membersihkan tubuh Naya dari darah. Kuusap pelan wajah polos dan tulus itu. Tragis sekali. Nyawanya melayang di tangan saudara kandung sendiri,"lanjut Adam. Aku terlarut dalam dukanya. Turut kurasakan perih dalam setiap ucapannya.

"Kemudian kubungkus jasad tak bernyawa itu dengan alas kasur seadanya. Kubawa jauh meninggalkan kota itu. Hingga akhirnya sampai di Bukit Kemuning, kampungmu,"urai Adam.

Tentu saja aku terkejut, kucoba menghubungkan dengan peristiwa penemuan mayat di kampungku beberapa waktu yang lalu. "Ja-jadi ... mayat yang ditemukan di halaman masjid waktu itu adalah mayat Naya, kekasihmu?" Aku terperanjat mendengarnya.

"Iya, sengaja kuletakkan di halaman masjid, agar jenazahnya bisa diperlakukan dengan baik,"sahut Adam.

"Lalu kau melarikan diri?"tanyaku.

"Iya, aku bersembunyi di rumah kakak perempuanku, kira-kira 60 kilometer dari kampungmu,"jawab Adam.

"Kenapa tidak melaporkan kejadian itu ke pihak yang berwajib? Dengan tindakanmu melarikan diri, justru membuat kau seperti di pihak yang bersalah,"tukasku.

"Aku tahu itu, tetapi dengan melaporkan ke kepolisian sama saja seperti aku menyerahkan diri untuk di sekap di penjara seumur hidup, atau mungkin di hukum mati. Tidak! Aku belum siap untuk itu,"kilah lelaki itu.

"Bukankah kau bisa menceritakan kejadian sebenarnya, dan kau bisa membela diri,"sesalku.

Lelaki itu menatap tajam ke wajahku sambil berujar agak sinis," Orangtua Naya adalah orang kaya dan terpandang, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Kebencian mereka terhadapku adalah satu-satunya alasan untuk menghukumku seberat-beratnya."

Cukup pelik masalah lelaki ini. Jika ia menyerahkan diri, kecil kemungkinan terbebas dari jerat hukum meskipun ia tak bersalah. Namun dengan lari dan sembunyi maka itu juga akan memberatkan. Karena sama saja dengan menyembunyikan kejahatan. Ditambah lagi dengan kasus penculikan terhadap diriku. Tentunya ayah sudah membuat laporan atas kehilangan diriku.

Aku berpikir keras, memutar akal bagaimana agar menemukan jalan keluar terhadap situasi ini. Bagaimanapun kebenaran harus diungkapkan, Aku berdiri dan berjalan mondar mandir di pinggiran pantai. Perkara ini tidak boleh didiamkan saja. Harus kutemukan cara agar semuanya bisa jelas. Pelaku kejahatan harus diberi hukuman yang setimpal. Meskipun korban adalah saudara kandungnya sendiri.

"Hei non ... wajahmu sudah seperti detektif di film-film. Tinggal menambahkan payung hitam dan topi,"canda Adam.

"Ya, aku memang sedang berpikir keras. Bagaimana caranya agar kita bisa membuktikan bahwa pembunuh Naya adalah saudara kandungnya sendiri,"sahutku sambil menatap lekat ke wakahnya.

"Sulit sekali,"desah Adam seperti berputus asa.

"Sesulit apapun itu akan jauh lebih baik daripada kita tidak melakukan apa-apa, sampai kapan kau akan menyekapku di sini? Lagipula apakah tidak ada keinginanmu untuk melanjutkan kehidupanmu secara normal? Membangun rumah tangga, menjalani masa depan yang lebih baik?"tanyaku beruntun. Entah kenapa saat mengucapkan kata-kata itu terasa ada sesuatu yang hangat menjalar di wajahku.

"Masa depan? Rasanya tak layak aku mengimpikannya," jawab lelaki itu pasrah.

"Ah ternyata tampang sangarmu tak berbanding lurus dengan nyalimu,"ujarku sarkas.

"Kau mencoba mengujiku, nona manis!"sahut Adam tersenyum sinis.

"Semuanya berpulang kepadamu, apakah kau ingin melepaskan diri dari jerat yang kau buat sendiri, atau hanya pasrah menerima nasibmu sampai kematian datang menjemputmu sendiri di tempat ini." Aku melihat ia terdiam sembari mengepalkan tangannya.

ELUSIFWhere stories live. Discover now