Sepanjang jalan, bibir Maria sibuk berdzikir. Ada sesuatu yang salah dengan perjalan mereka hari ini tetapi entah apa.

Pukul setengah tujuh petang, mereka tiba di rumah mbah D. Rupanya sudah banyak antrian pasien yang datang berkunjung. Setelah menyalami mbah D dan para tamu, keduanya pun duduk di kursi dan menunggu giliran.

"Lajeng pripun, Mbah? Kula ngantos judeg ngertos tabiat ipun rayi kulo."
(Lalu bagaimana, Mbah. Saya sampai bingung mengetahui sifat adik saya)
Curhat seorang perempuan yang datang bersama suami dan anak lelakinya yang masih batita. Rupanya ia mengeluhkan sifat adik perempuannya yang sangat keras kepala. Dari percakapan selanjutnya yang bisa Maria dengar. Adik perempuan si klien selain bertabiat keras kepala juga suka menggoda suami orang.

"Adhimu pancen ngono kae. Wes lanangan, sing dipilih mesti wes duwe bojo."
(Adikmu memang begitu. Sudah suka bermain lelaki, yang dipilih pun selalu yang sudah beristri)

Mbah D menghentikan ucapan kemudian memejankan mata sambil menggelengkan kepala dan menjawab salam. "Waalaikumsalam"

Setelah membalas salam dengan 'makhluk gaib' yang baru saja memberitahu beliau, mbah D melanjutkan ucapannya. "Adhimu pasang susuk nang kene lho!"
(Adikmu memasang pemikat di sini lho!)

Mbah D membuka mulutnya lebar sambil menunjukkan tempat dimana adik si klien memasang jimat pemikat.

"Mulane adhimu kae menowo guneman mbi wong lanang, langsung kesengsem karo dewek'e"
(Makanya adikmu jika berbicara dengan lelaki, langsung terpesona padanya)

"Inggih, Mbah. Rayi kula menawi kalian tiyang sanes ramah sanget. Menawi kalian sederek ipun malah mbentak - mbentak."
(Iya mbah, adik saya kalau dengan orang lain tutur katanya ramah. Tapi dengan saudaranya malah berbicara kasar)

"Adhimu kae sakjane wes keno HIV. Awake wes mulai kisut to? Yo di omongi sek alus ben ngelereni tumindake!"
(Adikmu itu sebenarnya sudah kena HIV. Badannya sudah mulai kisut kan? Ya diberitahu yang baik supaya menghentikan perbuatannya)

Pemberitahuan mbah D membuat Maria menghembuskan nafas sambil beristighfar. Ya Allah, benar - benar sebuah kerugian hakiki. Akibat perbuatannya sendiri, harus menderita penyakit yang hingga kini belum ada obatnya.

Setelah selesai konseling dengan mbah D, tamu tersebut pamit untuk pulang.

Berikutnya giliran seorang perempuan yang katanya dimintai tolong oleh temannya. Ia menunjukkan 3 buah foto beserta nama lengkap dan weton orang - orang yang harus diterawang oleh mbah D.

Mbah D menatap ketiga foto tersebut kemudian memejamkan mata sambil berdzikir. Mbah D kembali menggelengkan kepala dan membalas salam. "Waalaikum salam."

Safira dan Maria ikut merasa tegang karena ingin mengetahui hasil penerawangan mbah D.

Foto pertama ditunjukkan di depan kliennya. "Wong iki gedhe, dhuwur, ireng, lan mambu bacin. Ancen dhemit!"
(Orang ini besar, tinggi, hitam dan baunya bacin. Memang setan)

Si klien tampak terkejut dengan informasi yang diberitahukan oleh mbah D.

"Kata teman saya, mbaknya memang suka main dukun untuk mengguna - guna suami teman saya."

"Ora main dukun. Pancen dewek'e duwe ilmu perdukunan. Arep karep karo lanangan sopo wae mesti entuk'e."
(Bukan bermain dukun. Memang dia mempunyai ilmu perdukunan. Mau dengan lelaki siapa saja pasti dia akan mendapatkannya)

"Oh pantesan, teman saya menjulukinya Wewe Gombel. Lalu dari mana dia mendapatkan ilmu tersebut, Mbah?" tanya si klien penuh rasa heran.

"Dia mewarisi ilmu itu dari leluhurnya." Lagi - lagi mbah D memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya. "Waalaikumsalam"

"Nang omahe ana peti isine jimat. Ana keris, keluk, mirah delima, golek kencono. Pokok'e lengkap."
(Dirumahnya ada peti berisi jimat. Ada keris, keluk, mirah delima, golek kencono. Pokoknya lengkap)
Mbah D menjelaskan sambil memejamkan mata. Seolah - olah raganya terlepas dan sedang melakukan investigasi di TKP alias di rumah miss Wewe Gombel.

Mbah D membuka matanya. Kemudian menunjukkan foto yang kedua.
"Nah, aku mesakke karo mbak sek iki!"
(Nah, aku kasihan dengan mbak yang ini)

"Itu yang teman saya, Mbah." jawab si klien.

"Orang ini terlalu pasrah dengan keadaan dan memilih untuk menyerahkan semua pada Gusti Allah. Ia berharap semua pasti akan kembali baik - baik saja."

"Iya, Mbah. Teman saya juga memilih untuk bertahan dan memaklumi suaminya. Karena ia yakin jika suatu saat suaminya akan sadar dan kembali padanya." jawab si klien membenarkan terawangan mbah D.

"Kira - kira apakah ada kemungkinan suaminya untuk kembali? Soalnya selingkuhan suaminya teman saya sekarang sedang hamil." si klien kembali bertanya tentang kemungkinan suami temannya akan kembali pada istrinya yang sah.

Mbah D memejamkan matanya dan mulai menerawang. "Waalaikumsalam."

"Sulit. Selain karena mbak tadi hamil, keduanya terikat sesuatu dan menjerat mereka sehingga sulit untuk lepas."

Maria dan Safira ikut menarik nafas karena merasa prihatin dengan teman si mbak klien.

"Lalu saran terbaik dari Simbah, sebaiknya teman saya harus bagaimana?"

"Kalau menurutku ya, sebaiknya mereka berpisah saja. Karena kasihan anak - anaknya."

"Ya itu, Mbah. Apalagi anaknya 2 perempuan semua. Mereka juga sudah beranjak remaja." si klien membenarkan mbah D.

Terakhir yang diterawang mbah D adalah foto si suami. Si klien tampak terkejut dengan hasil penerawangan mbah D.

"Sebenarnya temannya sampeyan tahu kok rahasia besar suaminya. Tabiat inilah yang membuatnya menggali lubang masalahnya sendiri." Mbah D membuka akar permasalahan dari carut marut rumah tangga temannya si klien.

"Padahal ya, mas nya ini itu kalau sama istri barunya seperti memeluk 'gedebog'. Sudah bau, menjijikkan pula. Dhemit, perempuan itu dhemit." Mbah D mengernyitkan hidungnya seolah - olah beliau memang berada di dekat si pelakor.

"Teman saya mampu bertahan karena dukungan dari kedua anaknya, Mbah. Putrinya pasti terkejut jika ibunya memilih untuk berpisah dengan sang ayah."

"Ya itu hal yang wajar, tapi jika diteruskan justru kasihan anak - anaknya. Saat ini mereka memilih bertahan dengan keadaan, karena masih membutuhkan banyak biaya. Tapi jika diteruskan juga kasihan mereka di masa depan."

Mbah D masih menunjukkan foto si pria. "Tapi orang ini menyesal kok jika bercerai dengan istrinya."

Maria ikut merasa sesak. Betapa mirisnya takdir cinta pasangan dalam foto tersebut. Saling mencintai dan berjuang menghadapi cobaan. Namun takdir mereka buntu. Memilih bertahan juga berat. Berpisah pun, hati mereka sudah terikat erat.

Akhirnya setelah hampir dua jam menunggu giliran, tiba juga giliran Safira untuk curhat dengan mbah D.

"Piye Cah Ayu. Ono opo meneh?"
(Bagaimana Cah Ayu, ada apa lagi)
Tanya mbah D sambil menyunggingkan senyum lebar. Safira tampak salah tingkah dan mencubit paha Maria.

"Aduh, kok nyubit sih?" protes Maria.

"Gimana aku harus ngomong, Mar?" bisik Safira.

"Kan yang mau curhat kamu. Masa aku yang di suruh bilang ke mbahnya?"

Teguran Maria membuat Safira membulatkan tekadnya. Setelah mengatur nafasnya, Safira pun mengungkapkan uneg - unegnya.

"Mbah gimana ini, Rico dan si Sundel sekarang jadian. Saya nggak rela Mbah. Pokoknya saya ingin Simbah membantu saya untuk membalas rasa sakit hati pada kedua orang itu. Saya ingin mereka dibuat celaka pada hari dan jam yang sudah saya tentukan."

Tbc

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Where stories live. Discover now