"Kak Naya bangun!" teriakku lagi.

Sirine ambulans itu memekakkan telingaku. Membuat jantungku terpacu lebih cepat daripada biasanya.

Semua berjalan dengan cepat begitu pula dengan waktu. Aku masih mengingat bagaimana ia dimasukkan ke dalam ruangan itu. Aku menghubungi semua sahabatku hingga lupa kalau Kea sedang lomba menari.

Aku terus menangis sambil menunggu kak Naya. Aku terus berdoa agar ia selalu baik-baik saja. Semua doa kurapalkan.

Rasanya sangat sulit untuk menghentikan tangis yang semakin lama semakin membuatku kesulitan bernapas. Ketakutanku kembali lagi. Aku sangat-sangat cemas. Dan aku juga melupakan obat yang selama ini menemaniku agar terlihat lebih baik.

"Bagaimana keadaan kak Naya?" tanya Atha kala itu. Jelas aku masih mengingat semuanya.

Aku hanya menggelengkan kepalaku. Ini salahku. Benar inilah hal yang tidak aku inginkan. Pikiranku berperang. Seharusnya aku tak mengajaknya berlatih koreo baru milik Park Jimin itu. Seharusnya aku membiarkannya melihatku saja. Seharusnya...hanya itu yang bisa kupikirkan. Seandainya aku tidak berkata bahwa ia harus menarikan tarian yang menguras tenaga itu. Seandainya aku tak mengajaknya berkunjung ke studio dance milikku. Hanya kata 'seandainya' yang terus berputar dalam pikiranku.

"Semua ini gara-gara kamu!" teriak Azki tepat di depan wajahku. Baru kali ini dia berteriak setelah 6 tahun lamanya kita bersahabat.

"Kalau kak Naya kenapa-napa aku tidak bakal maafin kamu Mal!" ucapnya sekali lagi.

"Maaf," lirihku.

Tentu aku menangis semakin kencang. Aku tak tahu harus bagaimana? Iya memang akulah yang menyebabkan kekacauan ini.

Atha menengahi kami berdua. Aku menyukai aura penengahnya.

Detik telah berganti menit dan menit telah berganti jam. Sudah hampir 2 jam dokter yang menangani kak Naya belum juga keluar dari ruangan putih itu. Kami terduduk bertiga. Saling merapalkan doa dan saling menguatkan. Aku kembali mengusap air mata yang telah membuat mataku memerah dan membengkak. Mereka berdua juga mengusap matanya masing-masing.

Kami menangis. Kami takut kehilangan. Itulah yang selalu dalam pikiran kami. Dokter dari ruangan putih itu akhirnya keluar. Kami menanyakan keadaan kak Naya.

Lalu dokter itu menggeleng penuh dengan keputus asaan. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Ini mimpi. Ini hanya mimpi. Batinku mulai berteriak.

"Maaf kami tidak bisa menyelamatkan pasien. Kankernya sudah stadium akhir. Dan inilah akhir dari semua penderitaannya. Doakan dia. Dan segera hubungi keluarganya," ucap dokter itu lalu pergi meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.

Tubuhku merosot dan pikiranku tetap tak percaya dengan apa yang terjadi. Ini mimpi! Aku menangis kembali. Orang yang selama ini aku sayangi seperti saudara kandungku sendiri meninggalkanku tanpa sepatah kata. Bahkan tawanya tadi pagipun masih teringat jelas dalam ingatanku.

"Kak Naya," lirihku.

"Semua salahmu Mal," lirih Azki yang berada tepat di sampingku.

"Aku bahkan tidak tahu jika kak Naya sakit. Adik macam apa aku?" lirihku lagi.

"Dia menyanyangimu. Dia memilih menyembunyikan sakitnya agar kau tak kehilangan semangat hidupmu yang hampir kau akhiri tahun lalu," ucap Azki.

"Jadi kalian tahu kalau kak Naya sakit?" tanyaku.

Mereka mengangguk.

📖📖📖

Tepat tanggal 13 Juni kak Naya pergi meninggalkan kami. Dia yang selalu menjadi tempat kami pulang telah pergi. Ocehannya tentang makan tepat waktu tidak akan kudengar lagi. Tawanya, kata-kata mutiaranya tidak akan kudapatkan lagi. Seharusnya hari ini kami meniup lilin bertuliskan angka 6 di atas kue tar. Tapi semesta tak menghendakinya.

5inchi : Painful Memories (Oneshoot)Where stories live. Discover now