FATE oleh Eria Nova

Start from the beginning
                                    

Lalu aku melihatnya.

Cowok bernomor punggung dua yang tampak familier. Aku menyipitkan mataku. Siapa tahu aku salah lihat. Tapi, benar itu dia, si taro bubble.

Aku memperhatikannya sekali lagi. Rambutnya basah oleh keringattapi dia tidak terlihat lelah sama sekali. Justru dia tampak begitu bersemangat. Dan kalian tahu, setiap kali dia berhasil memasukkan bola ke dalam ring, terdengar teriakan yang keras sekali dari segerombolan gadis di bangku penonton. Beberapa dari mereka bahkan ada yang membawa slogan. Aku berhasil membaca nama yang tertera di salah satu slogan itu. Satria Adrian. Dia bukan taro bubble tapi Satria Ardian.

Tanpa kusadari, aku mendengus.

Baiklah, siapa pun gadis normal yang melihatnya pasti akan menyukainya. Ingat kesan pertama yang dulu juga ia berikan? Ia memang tipe cowok populer.

Saat sibuk dengan pikiranku itulah, si taro bubble—maksudkuSatria Ardian--tiba-tibamenoleh ke arah tribune tempatku duduk. Mungkin dia tahu kalau sekarang dia menjadi objek fotoku karena tepat ketika aku menbidikkan kamera yang sedang kupegang, dia mengangkat sudut bibirnya.

***

"Yang kemarin motoin Satria siapa? Dista?" tanya Meli, ketua jurnalis di fakultasku.

"Bukan, Hana, tuh."

Meli tersenyum padaku."Hasilnya bagus sekali," ucapnya memujiku. "Kemarin waktu aku mau menempelnya di dinding aku sempet mikir-mikir lagi sayang kalau foto sebagus ini dinikmati semua orang. Aku mau nyimpen buat diriku sendiri," lanjutnya sambil tertawa.

Aku mengangguk-angguk mendengarkan ucapan Meli. Dia juga ternyata satu dari banyak gadis yang sepertinya tertarik dengan si taro bubble ini.Aku tidak tahu dia begitu populer. Atau mungkin itu karena selama aku kuliah aku tidak begitu memperhatikan orang-orang di sekitarku.

Setelah event pekan olahraga universitas itu berlalu, aku disibukkan dengan skripsi. Aku juga agak kerepotan mengatur waktu antara part-time dan mengejar bimbingan dosen.Satu-satunya yang membuatku betah berlama-lama di kafe adalah karena Satria masih sering datang ke tempatku bekerja paruh waktu. Dia juga kadang datang sendirian dan akan menghabiskan waktu cukup lama di kafe. Ditemani minuman favoritnya, bubble drink rasa taro dengan krimyang banyak di atasnya. Oh iya, ada satu lagi yang sering dia pesan saat datang ke sini. Cheese cake.

Biasanya setelah selesai mengerjakan tugasnya dia tidak langsung pergi. Dia akan duduk sebentar untuk mendengarkan musik di ponselnya. Membuatku selalu bertanya-tanya jenis musik apa yang ia sukai.

"Hana, tolong bawakancheese cake ini untuk mas-mas yang duduk di pinggir jendela sana, ya."

Aku mencari sosok 'mas-mas' yang dimaksud Budhe. Aku terkejut saat tahu yang dimaksud budheku adalah Satria.

"Anu Budhe, yang lain saja, ya. Mbak Nita coba," kataku mencoba menghindar. Entah kenapa aku yang biasanya cuma kebagian menjaga tempat kasir harus disuruh mengantarkan makanan.

"Mbak Nita sedang sibuk membuat adonan di dapur, ayolah." Budhe memandangku curiga saat aku masih belum juga bergerak dari tempatku. "Kenapa? Itu mantan Hana? Atau gebetan Hana?" tanya beliau.

Aku buru-buru mengambil nampan yang dipegang Budhe sebelum Budhe bertambah curiga dan bertanya macam-macam. Setelah itu berjalan sepelan mungkin menuju ke meja tempat Satria duduk. Syukurlah, ia sepertinya masih sibuk dengan sesuatu yang dikerjakan di laptopnya. Ia tidak menyadari kehadiranku yang membawakan pesanannya.

Atau tidak begitu.

Ketika kupikir aku bisa begitu saja berlalu dari hadapannya, tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Menatapku dari balik layar laptopnya.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now