My Aiden

41 6 0
                                    

       Sejak kecil aku terkenal sebagai orang keras kepala yang tidak menyerah dengan pendapatku sampai aku menemukan kesalahan sedetail mungkin di dalamnya. Aku bukanlah seseorang yang mudah untuk termotivasi. Kegiatan motivasi yang kuikuti hanya bagaikan angin sepoi-sepoi yang lewat, awalnya memikatku namun lantas hilang begitu saja. Tak peduli orang itu adalah motivator yang baru saja meniti karirnya ataupun motivator yang terkenal sejagat raya. Omongan mereka bagaikan kudapan manis tiap sore yang biasa kudapatkan, hanya menambah beberapa kesan manis lalu hilang masuk ke perut dan tersisa sebagai memori yang kesekian banyaknya. Tidak kurang tidak lebih. 
   
      Berbeda jauh jika kejadian itu terjadi dalam hidupku atau mendengar cerita orang-orang yang memang berjuang menjalani kehidupannya. Melawan segala keterbatasan yang membelenggu. Menatap masa depan dengan senyuman meski hidupnya dipenuhi teramat banyak beban. Beban yang mungkin terlampau berat bagi manusia pada umumnya.

       Aku bukanlah seseorang yang mampu berusaha gigih tanpa mundur sedikitpun. Mungkin terkadang hal itu dapat terjadi, namun aku sering berakhir kalah dengan egoku. Kadang sifatku juga bisa sangat cuek terhadap hal yang menurutku tidak penting untuk kuurusi dan tidak ada hubungannya denganku.

      Saat ini setelah kupikir kembali, banyak dari sifat burukku itu yang sekarang menjadi penyesalan hidupku. Betapa beruntungnya aku jika semua sifat itu sudah kuubah semenjak dulu. Bukan sampai ada kejadian seperti ini baru aku sadar sepenuhnya.

      Lalu pertemuanku dengan seseorang mulai mengubah hidupku perlahan-lahan. Pertemuan itu terjadi ketika aku menginjak kelas dua sekolah menengah pertama. Ada murid pindahan yang masuk di semester baru itu, anak cowok yang bernama Aiden Allen. Katanya ia pindah karena kedua orang tuanya yang dipindah tugaskan ke kota ini. Kesan awalku kepadanya hanya biasa saja seperti orang normal lainnya. Tapi satu hal yang pasti, lama-kelamaan aku menyadari dia tidak kelihatan persis seperti anak cowok yang sehat pada umumnya. Aku tahu karena aku itu termasuk salah satu standar anak cowok yang sehat. Maksudku itu standar seperti pergerakan tubuh yang sangat banyak, pecicilan, dan tingkah yang menyebalkan sekaligus memberontak lainnya. Dia terkesan tidak banyak gerak dan pendiam namun tetap terlihat ceria, terlebih lagi tubuhnya itu selalu terlihat lemah, kecil, rapuh dan bisa roboh kapan saja.

        Aku telah tahu hal itu dari awal tetapi tetap diam saja. Tidak pernah membicarakannya dengan orang lain ataupun bertanya kepadanya. Aku juga tidak terlalu berteman dekat dengannya, ia lebih terkenal dekat di kalangan anak cewek dan jarang mengikuti aktivitas kami yang terkesan jauh lebih 'berat', apalagi kalau sudah berurusan dengan paparan sinar matahari. Hingga akhirnya aku mulai bersahabat dekat dengannya dan mengetahui segalanya ketika kami duduk di bangku kelas tiga SMP. Hari itu ada tugas wajib dari guru yang dikerjakan di luar ruangan, kebetulan aku dipasangkan dengannya.

      Pada siang yang terik itu Aiden ragu-ragu untuk melangkah keluar dari bayang-bayang bangunan sekolah. Aku bukan orang yang pura-pura tidak peka dengan keadaan orang lain jadi aku menyuruhnya untuk istirahat di ruang kesehatan sekolah kalau dia memang tidak enak badan. Tapi dia menolaknya dan bersikeras untuk ikut denganku dan akhirnya memberanikan dirinya melangkah keluar, bersentuhan langsung dengan paparan sinar matahari.

       Aku menyesal tidak pernah mengetahui tentang penyakit itu. Rasanya aku ingin menyalahkan buku teks sekolahku yang sama sekali tidak pernah membahasnya. Saat itu aku benar-benar tidak mengetahui apapun mengenai penyakit itu. Hingga akhirnya Aiden memberitahuku nama penyakit itu. Penyakit yang agak lazim terdengar bagi siswa SMP seperti kami. Lupus.

        Aku yang tak tahu apa-apa akhirnya membiarkannya ikut berkeliaran denganku di lapangan sekolah. Sebisa mungkin aku tidak memberikannya tugas yang terlalu berat karena wajahnya yang ntah kenapa lama-kelamaan mulai memucat. Sudah berkali-kali juga kukatakan kepadanya untuk berisitirahat saja, namun dia tetap bersikeras menolaknya. Mungkin setelah lima belas menit kemudian, dia jatuh pingsan. Aku yang kaget langsung pontang-panting menggendongnya menuju ruang kesehatan sekolah.     

Philosophy of LifeWhere stories live. Discover now