9. Perempuan Pembawa Tuah

4.2K 329 14
                                    

Ini sudah hari rabu. Bibin dan Vera mendampingi para perangkat desa mempersiapkan acara sosialisasi program penyediaan air bersih. Acara ini akan dihadiri dinas terkait dari Kabupaten. Seperti BAPPEDA, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan lainnya.

"Pak Janu itu sudah lama jadi kepala desa ya, Mas Warno?" tanya Bibin pada perangkat desa yang menduduki jabatan Kasi Pembangunan itu. Dia yang awalnya berdiri, sekarang duduk di sebelah kanan Warno. Disusul Vera yang langsung menempatkan diri di sebelah kiri Warno.

"Sekitar lima tahun, Mbak. Saya ingat waktu itu Pak Kades baru lulus kuliah, terus aktif di Karang Taruna. Mulailah warga banyak yang kenal. Kebetulan waktu itu bapaknya yang jadi kepala desa. Tapi tanpa sebab apa-apa, bapak Pak Janu tiba-tiba meninggal. Mendadak sekali." Warno memberi jeda sejenak pada ceritanya. Sedangkan Bibin dan Vera menahan nafas, menanti kelanjutan cerita Warno.

"Lalu, pas ada Pilkades, warga minta Pak Janu ikut maju. Lawannya Juragan Minto, dulu pernah jadi kades juga sebelum bapaknya Pak Janu. Dan seperti yang mbak-mbak tahu, Pak Janu yang jadi kepala desa sampai sekarang." Warno melihat ke arah Bibin dan Vera bergantian. Dia terlihat puas melihat kedua gadis yang mengapitnya tertarik dengan ceritanya.

"Masa jabatan kades itu enam tahun kan?" tanya Vera.

"Betul, Mbak," jawab Warno, kemudian lanjutnya, "Pak Janu tinggal satu tahun lagi masa jabatannya. Kelihatannya beliau mau maju lagi."

Bibin dan Vera sama-sama mengangguk-angguk.

"Tapi kali ini Pak Kades harus hati-hati," kata Warno pelan, seolah apa yang dikatakannya tak boleh didengarkan orang lain.

"Kenapa memangnya?" tanya Vera, ikut-ikutan berbisik dan mendekatkan kepalanya pada Warno. Sedang Bibin yang duduk di samping kanan Warno, tanpa sadar juga ikut mendekat, tidak mau ketinggalan informasi yang barangkali penting.

"Di desa ini ada cerita turun-temurun yang diyakini penduduk," ucap Warno masih berbisik.

"Cerita apa itu?" tanya Vera lagi.

"Perempuan pembawa tuah," bisik Warno dramatis.

Bibin melihat ke arah Vera yang juga mengernyit seperti dirinya.

"Siapa saja yang memimpin desa ini, tak akan berhasil, kecuali mereka didampingi perempuan pembawa tuah," jawab Warno.

"Ha? Ada ya cerita seperti itu?" tanya Vera tak percaya. Warno mengangguk dengan wajah serius.

"Tapi selama lima tahun dipimpin Pak Janu, tidak ada apa-apa, kan?" tanya Bibin.

"Belum, Mbak. Air sumur warga yang kering akhir-akhir ini sudah jadi isu buat menjatuhkan Pak Kades. Katanya karena Pak Kades yang belum punya pendamping," cerita Warno.

"Wah... Ada isu begitu?" tanya Bibin sedikit kaget. Warno mengangguk.

"Dan kalau Pak Kades tidak menemukan perempuan pembawa tuah sebelum Pilkades nanti, itu bisa bahaya," tandas Warno.

"Tunggu... tunggu, Mas Warno. Memangnya selama ini pemimpin di desa ini tidak ada yang dianggap berhasil?" Vera kali ini yang bertanya.

"Selalu ada tragedi tiap masa kepemimpinan, Mbak," jawab Warno. Dia terlihat sedih.

Bibin menggigit bibir dan mengetuk-ngetuk dagunya. "Apa ini ada hubungannya dengan kutukan Mbah Mirah?" batinnya.

"Kenapa bisa ada cerita itu, Mas?" tanya Bibin kemudian.

"Konon, dahulu kala ada lurah desa ini beserta keluarganya yang dibantai oleh warganya sendiri. Dalang pembantaian itu adalah sahabatnya sendiri. Sahabatnya itu iri dan ingin menjadi lurah. Dia membuat fitnah di kalangan warga, kalau sang lurah adalah pengkhianat negara, menjual warganya kepada penjajah, untuk melakukan kerja rodi di perkebunan. Warga yang sudah termakan fitnah, langsung mendatangi rumah lurah. Terjadilah tragedi itu. Makanya istri lurah yang selamat mengucapkan kutukan, bahwa lurah desa Sadang setelah suaminya wafat, akan selalu menghadapi huru-hara dalam tiap kepemimpinannya. Mereka tidak akan bisa memimpin dengan tenang. Kecuali dia didampingi perempuan pembawa tuah," cerita Warno.

Perempuan Pembawa Tuah (END) - TerbitWo Geschichten leben. Entdecke jetzt