4. Kamu Tanggung Jawab Saya

4.6K 343 26
                                    

Kerik jangkrik ditimpali suara tonggeret terdengar dari kamar Bibin. Kalau saja ini musim hujan, mungkin suara itu akan bertambah dengan suara katak juga. Karena sebelah rumah yang sekarang ditempatinya adalah areal persawahan, sedangkan depan rumah adalah hutan jati.

Setelah sholat Isya', Bibin sebenarnya berencana langsung tidur. Tetapi ternyata matanya sulit terpejam, padahal sebenarnya raganya terasa lelah. Karena itu, dia memutuskan untuk membuka buku yang sudah setahun terakhir ini sering dibacanya.

"Rumah itu ramai oleh suara anak-anak. Ada di samping sungai, gemercik air dan hembusan angin adalah irama yang menenangkan tiap kali menunggu kepulangan suamiku. Lalu tiap kali dia pulang, anak-anak akan menyambutnya dengan suka cita. Lelaki lembut hati itu akan memeluk mereka lalu bercerita tentang perjuangan. Bagaimana para pemimpin berkumpul untuk membahas strategi menyerang penjara Belanda untuk membebaskan para pejuang yang ditahan. Aku sungguh rindu rumah dan lelaki itu. Aku ingin pulang."

Bibin membaca barisan kalimat di buku Mbah Mirah. Dia seolah bisa merasakan kerinduan Mbah Mirah akan desanya. Ada semacam tali tak kasat mata yang menarik Bibin untuk terus membaca buku kuno itu. Lalu seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk menuntaskan segala rindu yang dialami Mbah Mirah. Ada desakan yang sangat kuat hingga akhirnya Bibin merasa harus datang ke Desa Sadang. Dan Tuhan mengamini keinginannya. Dia ditempatkan di desa ini ketika mendaftar sebagai fasilitator program pemerintah.

"Haruskah kucari rumah di samping sungai itu?" batin Bibin.

Dia menggigit bibir bawahnya dan mengetuk-ngetuk dagu. Dia selalu begitu kalau sedang berpikir. Kemudian dia mengambil ponsel yang ditaruh di atas meja kayu di samping tempat tidur. Lalu mengirim pesan pada Vera.

Bibin: Besok setelah menghadap Kades dua desa lain, kita keliling Sadang, yuk...

Vera: Iyes aja, deh.

Vera: Eh, tadi Bu Aminah nawarin kita ngekos sekalian makannya aja. Aku pikir bagus juga, sih. Susah juga kan cari warung di sini.

Bibin: Oke. Manut.

Bibin semakin mantap dengan rencananya untuk lebih mengenal desa Sadang. Selain akan bermanfaat untuk pekerjaannya, pasti juga berguna untuk misinya.

Pukul setengah sembilan, Bibin menguap. Tetapi, ponselnya malah berbunyi. Nyonya Iramaya adalah nama yang tercantum di sana. Bibin menepuk jidat. Dia lupa mengabari mamanya kalau sudah sampai dengan selamat di desa Sadang.

"Assalamualaikum, Ma," salam Bibin setelah menggeser tanda hijau.

"Waalaikum salam. Begitu ya, baru sehari saja sudah lupa sama keluarga," keluh Ira.

Bibin meringis, Mamanya menakutkan kalau sedang merajuk.

"Maaf, Ma," kata Bibin sambil berjalan hilir-mudik di dalam kamar. Tidak tahu harus memberi alasan apa agar mamanya tidak marah.

"Mama pengen ngomong sama ibu kosmu," ucap Ira kemudian.

"Tapi ini sudah malam, Ma. Bu Aminah pasti sudah tidur." Bibin beralasan.

"Pasti kamu yang nggak pengen Mama ngomong sama Bu Aminah. Lihat dulu kan bisa, sudah tidur atau belum beliaunya," sanggah Ira.

Bibin mendengkus, dan langsung menyambar jilbab bergonya. Meskipun berada di tempat yang berjauhan, dia tetap tidak bisa menolak titah Nyonya Iramaya.

Kemudian Bibin bergegas keluar kamar. Sedikit mengendap-endap, dia menuju ruang makan yang menghubungkan rumah timur dan rumah barat. Lampu-lampu sudah dimatikan. Hanya sebuah lampu lima watt yang bersinar redup di ujung ruang tamu.

Perempuan Pembawa Tuah (END) - TerbitOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz