3. Kecurigaan Bibin

4.6K 336 20
                                    

"Kamu ngerasa ada yang ngikutin kita, nggak?" tanya Bibin sambil menyetir mobil pelan-pelan. Takut tempat yang ditujunya terlewati. Karena menurut Pak Kades, rumah Bu Aminah hanya sekitar setengah kilometer dari balai desa. Sedangkan mereka belum hafal desa Sadang.

"Mana ada, perasaan kamu saja mungkin," sangkal Vera sambil melihat arah belakang. Dan memang dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.

Karena perkataan Vera, Bibin mencoba mengabaikan pikirannya. Tetapi dia bersumpah kalau melihat motor yang seakan terus mengikutinya. Karena kalau tidak dengan sengaja mengikuti mobilnya, motor itu pasti bisa dengan mudah mendahuluinya. Karena dia menyetir dengan sangat pelan.

"Itu rumahnya mungkin." Suara Vera membuat Bibin kembali ke dunia nyata. Sebuah rumah sesuai deskripsi yang di sampaikan Pak Kades terlihat di sisi kiri jalan. Rumah kayu bentuk joglo, pagar rumah dari daun beluntas, dan terdapat halaman sangat luas. Halaman sebelah barat yang berupa lantai semen digunakan untuk mengeringkan gabah. Beberapa orang tampak mengosrok gabah-gabah hingga membentuk barisan.

 Beberapa orang tampak mengosrok gabah-gabah hingga membentuk barisan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tanya dulu, gih," perintah Bibin pada Vera.

"Siap, Ibu Bina Amani," kata Vera. Lantas turun menemui orang-orang yang sedang bekerja.

"Pak, ini benar rumah Bu Aminah?" tanya Vera kepada salah satu orang yang bekerja mengeringkan gabah.

"Iya, Mbak. Mau ketemu beliau?" tanya orang itu.

"Iya, Pak."

Vera memberi kode pada Bibin kalau tujuan mereka benar.

Bibin langsung memarkirkan mobilnya menuju halaman sebelah timur. Di sana terdapat beberapa bunga warna-warni dan pepohonan yang membuat halaman itu terasa asri.

Lalu orang itu mempersilakan Bibin dan Vera duduk di sebuah pendopo dengan kursi-kursi dari kayu jati. Sementara orang tadi memanggilkan tuan rumah.

"Aku bakalan krasan kayaknya. Enak banget suasananya," kata Vera. Matanya tak jemu mengawasi tiap sudut tempat itu. Hiasan dinding berupa wayang dan bunga-bunga dalam pot mendominasi ruangan itu.

Bibin mengangguk-angguk menanggapi Vera. Dia juga melakukan hal yang sama. Melihat-lihat suasana rumah yang akan mereka tempati nanti. Entah kenapa dia merasa ada perasaan semacam 'pulang ke rumah'.

"Oh, kalian sudah datang ternyata." Seorang wanita lima puluh tahunan dengan gamis batik dan jilbab coklat tampak ramah menyapa Bibin dan Vera.

Bibin dan Vera berdiri dan menyalami wanita yang mereka yakini sebagai Bu Aminah, serta memperkenalkan diri mereka masing-masing.

"Hilmi bilang kalian akan di sini selama enam bulan?" tanya Aminah setelah mereka kembali duduk.

"Insya Allah, Bu. Selama program dari pemerintah ini berjalan," jawab Bibin.

"Bagus lah kalau begitu. Biar Ibu ada teman. Anak ibu itu ada dua. Yang besar laki-laki, tinggal sama Ibu. Tapi sibuknya luar biasa. Sampai-sampai makan bersama saja tidak sempat. Yang perempuan sudah menikah dan tinggal di desa tetangga," cerita Aminah yang didengarkan Bibin dan Vera dengan senyum simpul.

Perempuan Pembawa Tuah (END) - TerbitWhere stories live. Discover now