6. Penguntit

4.3K 297 22
                                    

Sepanjang makan malam, suasana terasa sepi. Janu sepertinya sengaja mendiamkan Bibin. Beberapa kali Vera melirik Janu, lalu Bibin. Kentara sekali ketegangan di antara mereka, meskipun mereka sama-sama diam.

Sebenarnya ketegangan itu sudah terasa ketika Bibin dan Vera pulang dari sungai dan Janu sudah menunggu di pendopo rumahnya. Tanpa mengatakan apapun, Janu langsung masuk ke dalam rumah setelah melihat kedatangan dua orang yang akan bekerja di desanya itu.

Aminah yang tidak menyadari hawa permusuhan dari anaknya dan tamunya, dengan riang menawarkan makanan pada semua orang.

"Ayo lho, Nak Vera, Nak Bibin, jangan sungkan nambah lagi. Anggap saja di rumah sendiri," kata Aminah.

"Iya, Bu. Makasih. Sudah cukup," ujar Vera.

"Cukup, Bu...," tolak Bibin ketika Aminah akan menambahkan opor ayam ke piringnya.

"Ibu seneng kalau tiap makan ada temannya begini. Jadi enak makannya," kata Aminah riang.

"Soalnya Ibu punya anak yang begitu. Sibuk terus, nggak mikirin orang tua. Warga dipikir, tapi ibunya nggak. Disuruh cepet nikah, ngelak terus." Sindiran Aminah membuat Janu terbaru-batuk.

Vera terkikik. Ketika Janu melihat ke arah Vera, pandangannya malah jatuh kepada Bibin yang juga sedang menatapnya, namun langsung membuang pandangannya ke arah lain.

"Mas Janu harusnya dengerin ibu, tuh. Tinggal pilih warganya yang cantik, ajak nikah. Beres," saran Vera kepada Janu.

"Memangnya nikah hanya soal milih yang cantik, Mbak Vera?" tanya Janu retorik.

"Eh...." Vera menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tidak siap menjawab pertanyaan kepala desa yang sarjana pertanian itu.

"Kamu saja yang kebanyakan mikir," timpal Aminah.

"Ibu, nikah itu kan untuk seumur hidup. Masa Janu asal milihnya. Kan harus cari yang baik sama Ibu, bisa mendampingi Janu mimpin warga, manut sama suami, nggak bikin khawatir suami." Janu melirik Bibin saat mengucapkan kalimat terakhir.

Vera yang menyadari tindakan Janu, segera menyambar perkataan Janu," Jadi, tadi Mas Janu khawatir sama Bibin?"

"Iya," jawab Janu tanpa sadar.

Bibin yang sedang makan langsung melihat ke arah Janu. Wajahnya bersemu merah.

"Ehm, saya khawatir sama kalian. Karena tempat yang kalian tuju itu berbahaya," tandas Janu.

"Kami sudah pulang dengan selamat," balas Bibin.

"Iya, tapi kalian sama sekali tidak konfirmasi," debat Janu.

"Kami belum punya nomor Pak Kades," ketus Bibin.

Janu menghela nafas.

"Kenapa jadi banyak berdebat begini. Harusnya makan bersama itu kan suasananya hangat," kata Aminah.

"Ada yang khawatir. Dan ada yang nggak ngerasa kalau dikhawatirkan, Bu," cetus Vera.

"Siapa?" Aminah melihat kepada anak dan tamunya, tidak paham dengan apa yang dibicarakan.

Vera terkekeh melihat Bibin yang salah tingkah. Dia memang ingin mengerjai sahabatnya yang belum pernah pacaran itu.

Sementara Bibin tersenyum tak enak pada Aminah.

"Maaf, Bu. Tadi kami ada sedikit salah paham," kata Bibin.

"Ya sudah, nggak usah diperpanjang. Ayo dilanjutkan lagi makannya," ajak Aminah.

Tak ada yang membantah. Lalu semua melanjutkan makan malam dalam diam.

***

Bibin tengah meng-update blognya yang beralamat di petualanganbibin.com. Dia menulis tentang perjalanan ke Sungai Sadang hari ini. Lengkap dengan foto-foto keindahan pemandangan selama perjalanan hingga sampai sungainya.

Perempuan Pembawa Tuah (END) - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang