A Cup of Tea oleh Elisabeth Cindy (@KuroyukiAlice)

Start from the beginning
                                    

"Kalau yang tadi kau gambar? Apa?" Pemuda itu tidak membalikan kertasnya ke halaman semula."Cangkirku sudah habis, cangkirmu?" Dia menutup buku sketsanya, mengepak pensil arangnya, dan memasukkan semua ke dalam tas selempang yang ada di kursi di sebelahnya.

Mei tersenyum, mengangkat cangkir itu ke mulutnya dan menegak habis semua isinya. Cairan kemerahan itu dengan mudah menghangatkannya. "Sudah habis."

Hujan sudah berhenti mengguyuri kota kecil itu. Matahari bergulir turun dan membanjiri semuanya dengan corak jingga. Lonceng kecil di pintu terus berbunyi. Kedai teh itu semakin ramai. Mei melihat semakin banyak pasangan.

"Punya janji dengan seseorang?" Pemuda itu menatapnya dengan sembari tangannya meraih selembar tisu untuk membersihkan noda arang di jemarinya.

Mei mendorong kotak tisu lebih dekat ke arah si pemuda. "Tidak juga. Setelah ini aku hanya akan jalan-jalan. Akhir pekan ini agak suntuk."

"Hmm."Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.Rambutnya yang agak berantakan karena angin hari itu ikut berayun.

"Masih mau teh?"

"Boleh, deh." Pemuda itu kemudian melambai ke arah konter dan seorang pelayan berjalan ke arah mereka. Pemuda itu memesankan teh hijau matcha untuk keduanya. Mei tidak mempertanyakan pilihan si pemuda. Dia memang begitu, dan Mei, sekalipun dalam hidupnya, belum pernah bisa membaca niatan pemuda itu.

"Nanti malam kau sibuk?" Pemuda itu menyeruput tehnya dengan masih menatap Mei.

Mei mengerjap pelan. Dia menaruh kembali cangkir ke tatakannya, tehnya masih terlalu panas untuk lidahnya. "Ada apa?"

Pemuda itu berpaling ketas selempang dan merogoh keluar ponsel pintarnya. Sekali-kali melirik Mei yang duduk di hadapannya. Mei melihatnya dan berpikir bahwa dia masih sama. Pemuda itu rambutnya masih sama ikalnya, masih sama berantakannya, masih sama cokelatnya. Iris matanya masih sama birunya, sedikit hijau dan tampak seperti zaitun terkadang. Senyumnya masih sama, tindak-tanduknya masih sama, paradigmanya masih sama. Pemuda itu masih pemuda yang dikenalnya lima tahun silam.

"Ceritakan padaku soal apa yang terjadi selama lima tahun aku absen." Pemuda itu tersenyum. "Apa saja yang berubah dengan kota kecil kita, Isca Dumnoniorum ini."

Mei terkekeh pelan, bibirnya tertarik menjadi senyum lebar. Sebab pemuda di seberangnya memang begitu. Seharian bisa saja tampak tidak peduli, dan seharian lain akan sangat peduli bahkan ke hal-hal kecil sekalipun. Gadis itu menyeruput teh hijaunya, yang penuh kafein, kini dengan lebih perlahan.

Maka Mei membuka mulut dan bercerita. Tentang Exeter yang tidak berubah, kota kecil yang masih sama. Juga tentang kehidupan Mei yang tidak berubah, masih sama jenuhnya sepeninggal si pemuda pergi ke Roma. Mei bercerita tentang semuanya yang masih sama.

Juga berlaku untuk pemuda di hadapannya. Segala dari Julio ialah masih sama.

Karena semuanya masih sama, maka Mei pula masih sama.

Dia masih jatuh cinta.

***

Pernah ada suatu masa, di rentang waktu lima tahun itu, Mei bertanya kepada dirinya sendiri, 'Kenapa kamu masih mencintai pemuda itu?'

Exeter bukanlah tempat lahirnya. Dia lahir di Seville, kota kecil Spanyol. Hangat sepanjang tahun dengan acara-acara tahunannya yang indah dan lampu-lampu peri yang menggantung sepanjang jalan pada malam natal.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now