"Alhamdulilah, akhirnya kamu menginjak musala juga. Tidak sia-sia aku berdoa siang malam agar musala penuh," ujar Pak RW. "Nanti isya jangan lupa jemaah."

Soleh cuma meringis, lalu dengan sopan berpamitan. Ia menahan diri untuk berbicara terlalu banyak. Tidak mungkin tiba-tiba ia mengajak Pak RW untuk merobohkan tobong Maryam saat ini. Seperti musang, ia harus berpura-pura jinak dan tampak tulus sebelum menyambar mangsa. Ia harus mendapatkan kepercayaan Pak RW terlebih dahulu. Sudah bagus Pak RW tidak menuduhnya mengincar kotak infak.

"In sha allah, Pak RW."

Kuduk Soleh berdiri, mungkin sama-sama kaget dengan lidahnya yang tiba-tiba mengucap bahasa Arab. Dalam hati ia mengumpat, menertawakan diri sendiri. Ia terkikik menuju warung kopi, mengunggu saat azan berikutnya terdengar.

"Habis dari kondangan?" tanya Pemilik warung sambil melirik Soleh dengan enggan. Ia sibuk di depan cermin mencabuti rambut putih di jenggotnya. Ia tidak lagi memukul-mukul televisinya karena barang rongsokan itu sudah tidak ada di sana, berganti dengan radio yang tak hentinya memutar lagu dangdut.

"Habis dari musala," jawab Soleh pendek.

Tangannya meraih rokok eceran dalam kaleng lalu menyalakannya. Ia tergesa ingin merayakan keberhasilan sandiwaranya itu dengan sebatang rokok. Mendengar jawaban Soleh, pemilik warung tertawa hingga matanya berair, tidak percaya jika bangsat semacam Soleh mau menginjak musala.

"Apa kamu termakan iming-iming Pak RW? Saingan sama piyik-piyik itu buat belajar ngaji dan hadrah supaya dapat televisi?"

"Kalau kamu kepengin, kamu juga bisa ikut. Lumayan kalau dapat, bisa menggantikan barang rongsokanmu itu, biar di sini ada yang bisa dilihat."

Tentu saja Soleh tidak akan berbagi rahasia dengan pemilik warung, sekali saja dia salah bicara, hancur semua rencana. Warung itu laknat, haram membicarakan rahasia di situ. Biarlah pemilik warung itu tetap berpikir Soleh menginginkan televisi, biar dia mengabarkan kabar itu. Itu juga akan menguntungkan, menyamarkan motifnya mendekati Pak RW.

Sebentar-sebentar Soleh melihat jam dinding buluk yang terpasang di warung kopi, ia tidak menyangka jika waktu jeda antara Magrib dan Isya akan selama ini. Seingatnya dulu, bedug Isya akan terdengar begitu ia selesai menghabiskan semangkuk bakso di dekat musala rumahnya. Sewaktu anak-anak, Soleh memang mempunyai kegemaran andok bakso sepulang salat Magrib. Selain baksonya enak, anak penjual bakso itu juga lumayan cantik. Kadang-kadang, anak gadis penjual bakso itu ikut membantu mencuci mangkuk kotor, duduk di pojok dengan kaki terendam air. Soleh suka memperhatikan kaki mulus gadis montok itu. Ia memang terobsesi dengan kaki mulus perempuan.

Empat batang rokok sudah habis dibakar, pemilik warung diam-diam menghitungnya. Ia memperhatikan Soleh yang semakin blingsatan, tak sabar menunggu saat Isya. Begitu suara azan terdengar, Soleh melonjak dari bangku.

"Utang 3 batang!" katanya setengah berlari.

"Matamu!" umpat pemilik warung kesal. "Kamu ngambil empat! Kamu pikir aku tidak menghitung? Mau tobat kok masih saja nipu. Semoga tanganmu buntung ditabrak kereta!"

Soleh masih seperti tadi saat salat Magrib, menunggu semua orang memulai salat sebelum memasuki musala. Ia harus mengambil deret paling belakang agar ia bisa meniru gerakan salat dan tidak malu jika salah. Ia benar-benar tidak ingat lagi urutan salat, juga surat-surat yang harus diucapkan. Matanya mencari-cari sosok Pak RW, menyisir ke samping, ke dekat kotak infak. Benar dugaannya, lelaki berjenggot panjang itu mengambil tempat di sana. Ia seperti naga yang menjaga harta karun seperti cerita sinetron di televisi. Pelan-pelan Soleh mengambil tempat tak jauh dari Pak RW, memastikan Pak RW melihatnya salat.

Bakiak MaryamWhere stories live. Discover now