7. PENGHINAAN

Começar do início
                                    

"Kamu ini ngomong apa sih?"

Dipunggunginya tubuhku.

"Aku serius, Mas," masih dengan nada yang teratur aku mengatakannya.

"Aku juga serius tak mau menceraikanmu."

"Aku sudah muak dengan semua ini, Mas."

"Sekali tidak tetap tidak," suaranya mulai ditekan.

"Sekian lama aku menunggumu untuk berubah. Nyatanya apa? Kamu malah membawa perempuan lain masuk ke rumah dan tinggal satu atap denganku. Menikahinya saat sedang hamil. Kamu memintaku memahamimu. Tapi kamu tak pernah sekalipun memahamiku. Kamu bawa perempuan ke rumah orang tuaku. Maksudmu apa, Mas? Kamu mau tunjukkan kepada semua orang bahwa kamu pria yang hebat, yang bisa menikahi dua wanita dengan hartamu? Kamu sudah menginjak-injak harga diri orang tuaku, Mas. Kamu pria paling jahat yang pernah kukenal. Kamu jahat!"

Mas Yoga bangkit dan menatap wajahku.

"Lalu apa bedanya denganmu, hah? Kamu bertemu dengan pria lain di rumahmu saat sedang tak bersamaku. Apa itu yang namanya wanita baik-baik?" nada bicara Mas Yoga terdengar mengejek.

Darahku mendidih, perlahan naik ke ubun-ubun. Tanganku gemetar menahan amarah. "Pria mana yang kamu maksud, Mas? Mas Ibrahim? Hah, jadi kamu cemburu sama dia? Kamu aneh, Mas. Jelas-jelas aku duduk dengannya bersama dengan Ibu. Kami berteman sejak SMA. Jangan samakan aku denganmu, Mas! Bagaimanapun juga, aku bukan kamu, yang cuma bisa mengumbar nafsu," aku mulai tersulut emosi.

Plak !!!

Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi kiriku, panas. Kuusap bekas tangan Mas Yoga dengan telapak tangan. Nyeri di hatiku melebihi rasa sakit pada wajah. Dan mungkin tak akan pernah bisa sembuh.

"Terus pukul, Mas! Lakukan, jika itu membuatmu puas! Sudah salah tak mau bertaubat, malah melampiaskan dengan memukul orang. Pria hina sepertimu tak pantas berpoligami. Kamu bahkan tak tahu apa itu zina. Lalu kamu sebut dirimu pria hebat, yang bisa menikahi dua wanita dan tinggal satu atap supaya terlihat rukun di mata semua orang? Picik sekali kamu, Mas. Lucu!"

Rentetan kalimat yang tak pernah kurangkai sebelumnya, keluar begitu saja . Aku sendiri bahkan tak menyadari, mampu seberani itu.

"Lalu dirimu itu apa? Pelacur? Lonte? Kamu sama saja dengan keluargamu. Cuma pingin numpang hidup sama aku. Iya, kan? Kalau mau cerai, kenapa tidak dari dulu kamu lakukan, hah? Apa karna belum puas menggerogotiku?" Mas Yoga menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Ekspresi yang membuat perutku berasa ingin muntah.

"Serendah itu kamu menghina keluargaku, Mas? Selama aku menikah denganmu, apa pernah orang tuaku meminta uang darimu? Apa pernah mereka mengeluh butuh uang, hah, pernah? Apa pernah aku meminta kemewahan darimu? Bagiku menikah itu sesuatu yang sakral. Bukan sebuah permainan. Bukan sebatas sarana untuk memuaskan nafsu birahi. Bukan pula sebuah jalan untuk meningkatkan taraf hidup. Aku saja yang salah memilih pasangan. Kalau bukan karena menginginkan tanggungjawabmu, selamanya aku tak sudi menikahi lelaki macam kamu."

Lega telah mengeluarkan segala unek-unek di hati yang kependam selama ini.

Kupalingkan pandangan dari pria sombong di depan. Aku tak ingin dan tidak akan menangisi pria yang bahkan tak pantas sama sekali disebut 'suami'.

Bukkk !!!!

Tubuhku terhempas di atas pembaringan. Kurasakan kedua tangan berada pada leher, berusaha mencekik. Aku berontak. Mencoba sekuat tenaga melepaskan terkaman lengan kekar di atasku.

Masih sempat melihat raut muka penuh ambisi membunuh itu meringis, mengeluarkan semua amarahnya pada kedua lengan yang berada pada leherku. Menekan lebih dalam, kuat dan semakin kuat.

Madu yang Tak ManisOnde histórias criam vida. Descubra agora