3. SUMBER BENCANA

2.5K 100 1
                                    

MSelepas Isya', aku berbaring di atas ranjang kamar tidur yang sempit. Terdapat satu buah lemari kayu ukir dengan dua buah pintu, di samping ranjang. Satu sisi pintu terdapat cermin berbentuk oval memanjang. Sedang di atas sandaran ranjang, terpajang sebuah foto pernikahan.

Kupandangi langit-langit kamar, yang pada beberapa bagiannya terdapat lukisan abstrak, efek rembesan air hujan. Perlahan ingatanku tertuju pada kenangan akan dosa terbesar yang pernah kuperbuat.

Waktu hatiku belum terketuk sama sekali oleh Islam, agamaku. Ketika Islam hanya tertulis di KTP saja. Dan mungkin, aku hanya sholat dua kali saja selama tiga ratus enam puluh lima hari. Tujuh tahun yang lalu.

Sejak resmi menjadi pacar Mas Yoga, hari-hari membuatku semakin dekat dengannya. Kian berani mengekspresikan perasaan untuk memiliki seutuhnya. Kedekatan yang bukan hanya sekedar saling pandang dan rayuan semata. Bahkan lebih dari itu.

Kontak fisik bukan lagi hal tabu bagiku. Bahkan semakin menjadi candu. Melambungkan angan ke dalam kubangan nista yang kugali sendiri tanpa menyadarinya.

Untuk pertama kalinya, Mas Yoga membawaku ke rumahnya. Rumah yang dia beli setahun yang lalu, katanya. Perumahan yang cukup elit, menurutku.

Kami duduk pada sofa berwarna kuning gading di ruang tamu. Aku memilih posisi duduk pada bagian panjang dari sofa. Sedang Mas Yoga, duduk pada sofa bagian lain yang agak jauh dariku.

Kami berbincang tentang masa depan, terasa begitu indah. Impian-impian setelah menikah. Sungguh membahagiakan dalam bayanganku. Aku yang tak pernah berhubungan dengan pria manapun sebelumnya, terbuai oleh kata-kata indahnya.

Berada dalam satu atap yang dipenuhi cinta dan kasih sayang. Memiliki buah hati dan menghiasi rumah dengan kemesraan yang diciptakan pria berwajah oval itu. Membayangkannya saja membuatku merasa amat bahagia. Saling memiliki dalam keutuhan cinta sepenuhnya. Semua kalimatnya membuatku terbius dan terhipnotis.

Merangkai untaian kasih helai demi helai dan membangun dinding rumah dengan rasa sayang tak terbatas juga keromantisan pemilik suara merdu itu. Wanita mana yang sanggup menahan untuk tidak terbuai impian dan janji-janji semacam itu?

Kupejamkan mata, membayangkan betapa indah masa depan bersamanya. Tak terasa bibirku mengembangkan senyum.

Deheman Mas Yoga membuyarkan anganku akan kehidupan rumah tangga impian. Kubuka mata, memandang ke arah pria yang kucintai.

Diambilnya sebatang rokok, lalu menyulutnya di hadapanku. Dihisapnya dalam-dalam hingga pipinya mengempis. Diembuskannya asap rokok pada wajahku. Tanganku mengibas-ngibas, berusaha mengusir asap rokok dari wajahku.

Uhuk ... uhuk ....

Aku terbatuk. Mas Yoga tertawa nakal melihatku hampir kehabisan napas karena asap rokoknya.

Perlahan, dia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Hingga tak ada jarak sama sekali. Kurasakan dadanya melekat di punggungku yang duduk membelakanginya. Lalu, sesuatu menempel pada pundakku, dagu Mas Yoga.

Aku risih, sedikit menjauh. Namun, Mas Yoga mendekat lagi. Diraihnya dagu ini untuk menatap wajahnya. Hingga wajah kami hanya berjarak 10 centimeter. Kurasakan embusan napasnya yang hangat, serta bau rokok yang memberikan sensasi menggila mulai menggelitik.

Sekujur tubuhku menghangat dan berdesir tak karuan. Perlahan dikecupnya bibirku, lalu jemarinya mulai bergerilya kesana kemari.

***

Selepas kejadian hari itu, Mas Yoga semakin sering mengajakku ke rumahnya. Hari libur tak pernah absen dia menjemputku, kecuali saat aku sedang mudik.

Madu yang Tak ManisWhere stories live. Discover now