7. PENGHINAAN

2.5K 112 4
                                    

Berada satu atap dengan istri kedua dari suamiku merupakan pengalaman buruk yang tak pernah kusangka sebelumnya. Pria yang dulu tampak begitu menyayangiku tega menduakan. Kobaran api amarah atas penghinaan yang sulit untuk diterima.

Kemesraan demi kemesraan tertuang dalam tiap adegan yang mereka ciptakan. Membuatku semakin kehilangan selera untuk sekedar merasakan rasa lapar.

Sakit di dada ini melebihi sebetan cambuk yang bunyinya menggelegar. Dan meskipun cinta telah lenyap, tetap saja tinggal satu atap dengan makhluk seperti Mas Yoga dan Nina membuatku seperti tinggal di dalam neraka.

Surga yang sempat ia janjikan dulu kini menjadi rumah duka untukku. Hiasan cinta dan kasih sayang telah berubah menjadi bangunan horor yang tak sudi untuk kutinggali.

Berbagi suami ternyata bukanlah perkara mudah, seperti yang orang lain ucap.

Rasa sakit itu nyata. Sekalipun perasaan ini telah terkubur pada suami.

Kusibukkan diri dengan mengurus kebun bunga di halaman depan dan belakang. Memandang kuncup bunga mawar mampu mengusir kegundahan, meski hanya sementara.

Suara maduku yang manja, serta gayanya yang sudah merasa menjadi Nyonya di rumah membuatku semakin tidak betah untuk tinggal lebih lama.

Rumah yang dijanjikan Mas Yoga untuk istri keduanya itupun tak pernah terdengar kabarnya.

Seminggu yang ia katakan, tapi hingga hampir dua bulan rumah itu tak jua ada kabar beritanya. Setiap kali kutanya, jawabannya selalu nanti, nanti dan nanti.

Isi rumah telah dipenuhi barang-barang yang dibeli Nina. Barang yang menurutku tidak terlalu dibutuhkan. Terkesan mubadzir.

Kutahan sedemikian rupa untuk tidak protes.

Begitulah suamiku jika sedang jatuh cinta. Dia akan memberikan apapun yang dimilikinya untuk orang yang dia sayang.

Malam sedikit larut.

Ditemani bunga mawar kering di atas meja samping ranjang dan suara televisi, aku termenung. Film box office movie tak membuatku tertarik untuk menontonnya.

Kubolak balikkan remote control dalam genggaman. Sedangkan bibir tak berhenti berdzikir.

Pintu kamar terbuka. Tengah malam Mas Yoga menghampiriku.

Iya, kendati tak pernah kupenuhi permintaannya, dia masih bersedia menemani. Sekedar untuk mendengar celotehan yang belakangan telah jarang kulakukan lagi.

Aroma keringatnya menyengat. Hal yang biasa ia lakukan adalah bermanja di pangkuanku. Atau menyender di bahu, kemudian bertanya tentang kegiatanku.

Sedang, amarah acapkali hadir ketika respon dariku tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.

"Aku mau bicara, Mas!"

Mas Yoga menoleh, memiringkan badannya ke arahku.

"Bicara apa?" pandangannya lembut.

"Aku mau kita cerai, Mas."

Kuberanikan diri untuk mengutarakan isi hati yang telah tertahan selama tiga bulan pernikahannya dengan Nina.

Pria yang tak bisa menjadi imam. Tidak tahu syari'at tapi tak mau berusaha mendekat ketika diingatkan.

Satu tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar menantinya menjadi pria yang mengenal Islam. Mendekatpun enggan.

Perubahan yang kunanti cuma angan, dirinya justru mengulang kesalahan yang sama dengan menghamili gadis lain saat aku tak mau untuk disentuhnya.

Mata pria berwajah manis itu melotot. Mungkin dia shock.

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang