Pertemuan Pertama Dan Teori Warna

Depuis le début
                                    

Motor Felix terlihat diparkir di samping kedai kopi. Beberapa meja kayu dan dudukannya terlihat kosong, tidak banyak pengunjung yang terlalu gila untuk ngopi di siang bolong. Hanya ada satu meja dengan dua orang yang terlihat di sana, duduk dengan dua cangkir kopi. Jane mengenal sosok lelaki yang menyesap espresso, tetapi tidak mengenal Dinar yang duduk berhadapan dengan Felix. Ada perasaan yang mengganggu ketika ia melihat Felix dan Dinar yang bertukar cangkir, saling mencicip pesanan masing-masing. Bukan, bukan lantaran pemandangan seorang pastur yang terlalu akrab dengan lawan jenisnya, tetapi perempuan yang disebut Felix di telepon mengingatkannya kepada almarhumah Mona, kekasihnya yang meninggal karena kanker setahun silam, berambut keriting, berwajah manis, dan berkulit mengilap semulus buah apel yang dilapisi lilin yang ada di swalayan.

"Maaf membuat kalian menunggu, sudah lama?"

Jane mengulurkan tangan kepada Dinar, memandangnya dengan tidak berkedip, tetapi berusaha terlihat wajar. Ia menahan kelopak matanya agar tidak menyatu, seolah-olah gadis di hadapannya itu akan raib jika ia berkedip sekali saja. Ia tidak memedulikan Felix yang terlebih dahulu mengulurkan tangan, membuat lelaki itu terlihat seperti peminta-minta. Felix menahan tawa, menangkap gelagat sahabatnya itu sebagai suatu keberhasilan; Jane mempunyai kesan khusus untuk Dinar. Ia bergeser duduk ke sebelah Dinar, sengaja menyerahkan tempat duduknya kepada Jane agar Jane bisa berhadap-hadapan dengan Dinar.

"Jadi, aku mempunyai kawan, seorang pekerja seni yang tempatnya akan digusur. Kata Felix, kamu bisa membantu," kata Dinar mengakhiri basa-basi aneh mereka.

"Ah, jangan percaya dengan mulut besar Felix. Aku hanya seorang wartawan rendahan."

"Wartawan rendahan yang terlalu cakap hingga bisa membatalkan penggusuran tobong." Kalimat Felix mematahkan kata-kata Jane yang mencoba merendah. Usia Jane memang baru dua puluh lima tahun, tetapi kemampuannya menggali berita menyamai moderator debat capres di televisi. Ia terkenal berani bertindak dan mempunyai strategi yang lumayan.

"Sudah terkumpul dua puluh tanda tangan untuk menggusur tobong Maryam. Padahal, selama ini tobong dan rumah-rumah di sekitarnya tidak pernah mempunyai masalah."

"Apa motifnya?"

"Penyakit sosial. Waria yang tinggal di dalamnya dituduh sebagai penyakit sosial."

"Klise. Aku tidak yakin motifnya senaif itu. Pasti ada motif lain."

"Aku mencurigai satu orang, namanya Soleh. Ia yang menjadi pemrakarsa penggusuran ini. Korak, penjahat kelas teri yang dahulu pernah tinggal di tobong."

"Menarik. Paling tidak kita sudah mengantungi satu nama. Kalau boleh, aku ingin berbicara dengan Maryam dan mendengar cerita darinya. Mungkin aku akan dapat sesuatu." Jane menggeser duduknya, merasa tidak nyaman. "Sebentar, aku ingin ke kamar mandi dulu."

Jane berlari kecil menuju bilik kecil di belakang kasir. Bukan dudukan kloset yang ia tuju, tetapi kaca kecil di atas kran pencuci tangan. Ia memeriksa wajahnya, mencari sesuatu yang mencurigakan. Dari awal percakapan, mata Dinar tidak melihat bibir atau bola matanya. Sebentar-sebentar mata Dinar terarah ke jidatnya.

"Cuk! Pasti alisku."

Ia mengumpat, baru sadar jika fokus Dinar terganggu oleh alisnya. Jane menyambar tangan pramusaji perempuan yang kebetulan lewat, memohon-mohon untuk dibuatkan alis yang bagus. Untung saja pramusaji itu pintar berhias, jika tidak, malapetaka akan terjadi lebih mengerikan. Sepuluh menit kemudian, ia kembali dengan wajah berseri-seri.

"Baik, kita bisa lanjutkan diskusi kita."

Jane melipat tangan di bawah dagu, menggunakannya sebagai penopang. Jantungnya deg-degan memperhatikan mata Dinar, risau kalau-kalau pandangannya masih tertuju pada alisnya.

Bakiak MaryamOù les histoires vivent. Découvrez maintenant