"Kamu perintahkan siapa yang berangkat atas nama perusahaan, dan siapa atas nama pribadi...!" 

        "Semua ya, berangkat. Aku telah perintahkan kepada Saras untuk ke rumah duka lebih dulu. Kita tunggu laporannya....!" 

        "Untung bukan kau yang jadi korban," kata Sania. Irene bergidig. Ia menatap Sania dengan wajah pucat. 

        "Aku jadi takut nih...." 

        "Kukira Ika sudah lama diincar suaminya. Enam tahun dia begitu. Semenjak perkawinan pertamanya. Kurasa suaminya sudah lama tahu....!" 

        "Kalau begitu aku harus hati-hati..." 

        "Yah, seharusnya begitu Irene. Hati-hati, dan jaga dirimu dengan baik. Berbeda kalau kau sudah cerai, semua tak berhak mencampuri urusanmu. Daripada kau tak bahagia, buat apa kau menempel terus suamimu?" 

        "Aku juga tengah memikirkan jalan terbaik..." 

        Saat itu Irene melihat Saras masuk ruangan. Ia langsung menemui Sania dan Irene. Kelihatan sekali wajahnya penuh duka. 

        "Ika dimakamkan di Bintaro, kita ke rumah duka sekarang?" 

        "Saras, kau nanti mewakili perusahaan ke sana...!" 

        "Sendirian?" 

        "Yah, kau bersama banyak teman yang lain. Bank ini kita tutup saja. Tinggal Joice dan Ema. Lalu satpam dan beberapa personil lainnya. Selebihnya bawalah mereka ke rumah duka. Aku baru saja menelpon Bus Hiba. Sebentar lagi mereka datang. Tapi sudah kau cairkan cek itu...?" 

        "Sudah....!" 

        "Sewa bus empat ratus ribu satu hari. Sisanya berikan pada keluarga duka, nanti tanyakan kunci brankas. Aku sih ada duplikatnya, tapi yang asli diminta dulu, beserta kunci ruang kantornya....!" 

        "Baik, anda tak ikut datang?" 

        "Aku akan menyusul. Aku mau pulang dulu...!" 

        "Aku juga, mau ganti pakaian...!" kata Sania.  

        "Kita tak usah ya?" tanya Saras yang baru saja menguangkan cek satu setengah juta rupiah. Mereka tak bisa mengambil uang dari kas karena kunci masih dibawa Ika, dan Irene di rumah. Ia tak membawa kunci itu, karena memang belum pulang. Sementara ia uangkan dulu sebagian uangnya di bank lain. 

        Sementara Irene memberi tahu dewan komisaris masalah musibah itu. Dari mertuanya, pemilik saham terbesar, Irene mendapat perintah langsung untuk melayat. Ia langsung menyanggupi. 

        Saras segera mengumpulkan sebagian besar karyawan. Ia menyebut satu per satu yag tinggal, dan menyebut nama yang ikut. Ia juga memesan kepada Joice dan Ema, serta Marissa, Gisella, untuk melayani nasabah dalam bentuk tabungan saja dulu. Sementara yang berbentuk kredit semua pelayanan dialihkan pada hari esoknya. 

        Bus Hiba datang. Dan seluruh karyawan bank yang berjumlah lebih dari empat puluh orang segera naik. Mereka meninggalkan kendaraan masing-masing. Seperti mau piknik saja layaknya. Saras segera pamit pada Sania dan Irene yang masih termangu-mangu. 

        "Kami berangkat dulu..." 

        "Perintahkan kepada yang laki-laki untuk membantu di rumah duka, kalau tenaganya dibutuhkan," kata Irene. 

        "Baik, aku berangkat dulu Irene...." 

        Wanita itu mengangguk. Tinggal Sania dan Irene serta beberapa wanita yang melayani langsung bagian nasabah. Irene bicara dengan Ema yang dianggap paling senior. Ia memesan apa saja yang harus dilakukan sehari itu. Dan Ema dengan penuh rasa tanggung jawab mendengarkan. 

Gairah... Istri PertamaWhere stories live. Discover now