3. SUMBER BENCANA

Start from the beginning
                                    

Rumahnya yang sepi menjadikan setan semakin mudah menyerang dan menutupi logikaku. Kesenangan sesaat dan sesat yang menyeretku, menikmati apa yang seharusnya tak kulakukan.

Melanggar aqidah menjadi hal yang mudah untukku. Tertutup oleh rasa ingin dan ingin.

Atas nama cinta, hah? Bahkan hati kecilku memberontak, apa benar ini cinta?

Namun, perasaan tak ingin kehilangan perhatian pria tampan itu membuatku mengenyahkan perintah hati sendiri. Tetap menuruti kemauannya, dan diperbudak nafsu angkara.

Logika tak lagi punya arti.

Begitulah setan menjerumuskan manusia, satu dosa kecil takkan pernah cukup.

Zina mata juga zina hati yang telah terbiasa dilakukan, semakin membuatku terlena. Hingga tanpa sadar aku sudah menggali lubang kehancuran yang akan selalu membayang-bayangi di masa mendatang.

Dua bulan sudah kulalui dengan diiringi perbuatan terlarang yang kian membuatku kecanduan. Tak mengindahkan wejangan ibu bapak. Tak memperdulikan konsekuensi yang akan kuterima nantinya.

Semakin sering mendengar tausyiah semakin merasa bahwa penyiar tausyiah tersebut adalah orang yang munafik. Menganggap diri ini paling benar.

Pongah, disebabkan hati yang merasa mendapatkan semua kenikmatan karena usaha sendiri dan bukan dari sang pencipta alam semesta. Benar, setan telah berhasil menguasaiku sepenuhnya.

Tak jarang ibu mewanti-wanti, namun siapa yang akan mentaati? Bukankah mereka juga tidak akan tahu apa yang kulakukan? Toh kewajiban sudah kupenuhi. Setan di hatiku telah menjadi teman. Menutup telinga dan nurani dari jalan kebenaran. Kian menjauh dari rabb-ku. Pemilik hati yang haqq.

Durhaka, bukan hanya karena tak mengindahkan nasihat orangtua, tetapi yang lebih durhaka adalah menjerumuskan keduanya ke dalam api neraka disebabkan dosa yang telah kuperbuat.

Rasa pusing dan lemas mulai kurasakan. Awalnya aku menganggap itu gejala masuk angin atau karena penyakit maag yang kambuh. Biasanya akan muntah dan tubuh terasa tak punya tenaga.

Perut melilit, dan wajah yang terlihat pucat.

Vina memperhatikan dan mulai bertanya tentang kondisiku. Dia mengeroki punggungku, berusaha mengusir rasa mual yang kurasa.

Beberapa kali hampir pingsan saat sedang bekerja, sehingga terpaksa ijin pulang lebih awal. Selera makan hilang sama sekali. Melihat nasipun membuatku muntah.

Seluruh isi perut keluar tatkala selesai diisi makanan. Tubuhku benar-benar lemas. Sisa tenaga yang hanya sedikit membuat terbatasnya ruang gerak untuk melakukan rutinitas di pabrik.

Membuka lemari, ingin berganti pakaian saat aku melihat bungkusan warna jingga dalam almari. Mulai kuingat sesuatu. Bukankah tamu rutinku belum datang bulan ini.

Bergegas aku berganti pakaian. Berencana untuk membeli testpack di apotek terdekat.

Berjalan dengan langkah gontai menuju toko obat dekat pasar. Aku memang belum membeli kendaraan, karena merasa belum butuh. Lagipula tempat kostku jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kerja.

Tiba di sebuah bangunan bertuliskan 'Apotek Farma' langkahku terhenti. Ada tiga orang perempuan mengenakan jilbab berwarna biru tosca, juga kemeja batik dengan corak senada.

Salah satu penjaga toko melayani, menanyaiku. Ragu-ragu aku menjawab pertanyaannya, yang mungkin curiga dengan permintaanku untuk membeli testpack.

Sorot mata apoteker menelanjangiku dari atas hingga bawah. Pandangannya menelisik.

Wanita berwajah bulat itu nampak kaget.

Madu yang Tak ManisWhere stories live. Discover now