Cinta Subuh Part 18

Start from the beginning
                                    

"Maaf yaaa, bisanya Cuma ini!" Kataku mencoba mencari tahu.

"Eh, gapapa Ra, enak kok ini," jawab Bang Sapta membuatku tersenyum.

Kami duduk bersama di meja makan, meletakkan handphone jauh dari jangkauan, berbagi cerita untuk mengikat kembali keakraban. Dan jujur, cara ini selalu berhasil, sejak Bang Sapta dan Kak Septi tinggal bersamaku, meski melewati proses penyesuaian cukup lama, aku tidak lagi merasa kesepian.

"Hmmmm...hmmmm..hmmmmm" suara senandung Nisa Sabyan terdengar dari arah kamarku, sepertinya seseorang melakukan panggilan di waktu yang kurang tepat.

"Telepon, Ra?" tanya Kak Septi yang sedang menikmati Sapi Lada Hitam sambil bercerita tentang model sesi foto tadi siang.

"Iya kayaknya," Aku menjawab sekenanya, tidak berminat untuk menjawab panggilan itu.

"Diangkat dulu, takut penting," kata Kak Septi lagi.

"Nanti aja kak, kalau penting Ratih telepon balik!"

Ada tiga alasan aku tidak bersegera berlari dan mengambil telepon pintar yang menyanyikan "hmm hmm" Nisa Sabyan itu.

Pertama, siapa sih yang menelepon jam segini? Dua sahabatku nggak mungkin, mereka paham betul tradisi keluarga yang kami jaga dan lestarikan ini. Jadi kemungkinan besar itu adalah Panggilan Salah Sambung atau Mama Minta Pulsa di Kantor Polisi.

Kedua, Angga. Belakangan ini, sejak kuberikan nomer teleponku ( yang asli ) kepadanya, dia berkali-kali mengirim pesan singkat. Karena tidak terlalu mengganggu, awalnya masih kubalas. Tapi aku merasa perlu menjaga jarak, makanya 4 pesan terakhirnya kujawab dalam hati, tanpa kukirim balasannya. Dan aku khawatir dia mulai kehilangan kesabaran sehingga memberanikan diri meneleponku.

Ketiga, tradisi keluarga bernama Makan Malam Dan Ngobrol Bersama ini adalah salah satu favoritku. Apalagi cerita malam ini menarik, Kak Septi digoda oleh seorang model laki-laki yang dipekerjakan tadi siang, katanya dia nggak tahu bahwa Kak Septi ini adalah istri dari Bang Sapta yang mempekerjakannya. Ketika waktu istirahat siang, sang model mengeluarkan gombalan super norak yang bahkan tidak pantas diceritakan di meja makan, kira-kira inti gombalannya adalah bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama dan berminat meminag Kak Septi. Dan gombalan itu dilemparkan begitu saja di hadapan suami Kak Septi yang langsung berdehem keras dan berkata, "Wah, kebetulan saya suaminya!" si model yang malang itu terpaksa mengalami patah hati dan malu secara bersamaan. Cerita selesai hampir bersamaan dengan suapan terakhirku, yang paling lambat makannya di antara kami bertiga.

"Kakak aja yang cuci piring, Ra" kata Kak Septi sambil membereskan peralatan makan kami.

"Eh, gapapa kak, Ratih bisa, kok"

"Udah, Kakak sama Abang aja, itu Nisa Sabyan mulai nyanyi lagi, tuh!"

Kalau Bang Sapta nggak memberi tahu, Aku tidak akan sadar nyanyian "hmmm Hmmm" itu mulai memanggil-manggil kembali.

"Mungkin penting, Ra," kata Kak Septi.

Maka kutundukkan kepalaku sebagai salam pamit dan ucapan terimakasih, kemudian dengan langkah agak cepat aku berjalan menuju kamar, penasaran dengan siapa di balik nyanyian Nisa Sabyan yang sedari tadi memanggil-manggil.

Nomer tak dikenal terpampang di layar berukuran 6 inchi kurang itu, Aku menekan simbol berwarna hijau bergambar telepon.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Waalaikumusalam," Suara laki-laki di sebrang yang cukup akrab menyapa telingaku, "Ratih?" kata suara tersebut memastikan.

"Iya, Kak Arya, Ya?" Aku balas memastikan

"Iya, kok tahu?"

"Suaranya Kak"

"Oooo"

"Ada yang bisa Ratih bantu, Kak?"

"Oh, ini Ra, ada undangan seminar, kira-kira Ratih berminat?"

"Seminar?"

"Iya, penyelenggaranya kementrian, seminar terbuka gitu"

"Tentang apa Kak, kalau Ratih boleh tahu?" Aku hampir bertanya, 'kenapa mengajak saya kak?' tapi kuurungkan.

"Oh, saya malah lupa kasih tahu yang pentingnya, ya, maaf-maaf," katanya dengan nada lepas tanpa beban, "judulnya Ancaman Radikalisme dan Intoleransi terhadap Keutuhan Negara."

Itu tentu tema yang menarik, tapi sebagian besar seminar radikalisme dan intoleransi selalu berakhir menyalahkan ideologi yang dianut pelakunya. Bahkan tidak jarang menjadikan pilihan busana seperti cadar dan celana "cingkrang" sebagai stereotype orang radikal.

"Saya rasa yang begini cocok buat Ratih, gimana, berminat?"

"Mau! kapan, Kak?"

"Sabtu depan, berangkat bareng?"

Aku terdiam sebentar sekarang hari kami, sabtu depan masih lama. aku belum ada agenda, bolehkah? Aku menimbang-nimbang prinsipku untuk tidak berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim

"Nggak berdua doang kok, Ra," katanya seakan bisa membaca pikiranku.

"Eh, nggak ngerepotin?" jawabku agak lega.

"Gak kok, ketemu di kampus ya?"

"Iya!"

"Oke kalo gitu, Ra, makasih ya, Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Aku menutup percakapan itu dan meletakkan Telepon Pintar di atas kasur. Setelah itu, aku merebahkan diri bersama sesuatu yang mengganjal dalam hati:

Kak Arya adalah satu dari sedikit laki-laki yang sangat kukagumi, gebetan kalau bahasa anak mudanya, tapi aku merasa nggak ada yang istimewa dari ajakannya, maksudku, aku sedikit mengharapkan perasaan berdebar-debar dari orang yang kukagumi, wajar kan?

Cinta SubuhWhere stories live. Discover now