Cinta Subuh Pt 2

12.9K 506 15
                                    

Bagian II
RATIH

“Apa beda kenabian Muhammad dengan Musa dan Isa?”

Kelas diam tak bereaksi dengan pertanyaanku.

Dari sudut mata aku melirik dan mendapati Prof. Henry Alexander, atau biasa kami sapa Prof. Halex, mulai terlihat risih dengan pertanyaan pembuka diskusi dariku. Dia menganggap semua yang berkaitan dengan agama adalah dongeng yang tidak berdasar. Ateis, begitu dia menyebut dirinya. Lulus S3 dengan memuaskan, dan mendapat penghargaan berkat karya tulisnya yang berjudul Agama: Dongeng Primitif Pemuja Kekuasaan. Karya tulis yang sebagian besar berisi kritik terhadap kejahatan perang, perpecahan, kelaparan, dan kehancuran yang menuduh agama sebagai penyebabnya.

Judul makalahku yang jadi tema diskusi adalah Peradaban Muhammad. Awalnya, mau kuberi judul Peradaban Tuhan, tapi takut segera dibantah habis oleh “dosen terbaik kampus ini”. Aku bahkan sengaja tidak menuliskan salallahu alaihi wa alihi wasalam di belakang nama sang utusan mulia demi kesempatan presentasi ini, demi mendapat peluang memberi serangan balasan pada Prof. Halex.

Aku sudah cukup kesal sejak Prof. Halex mencuci otak mahasiswanya dengan pemikiran anti Tuhan. Masalahnya adalah sebagian besar mahasiswa tidak sedikit pun meragukan apalagi mempertanyakan semua beliau sampaikan. Sebenarnya mungkin mereka bukannya tidak kritis, tapi hanya takut pada sanksi berupa nilai jelek yang dilanjutkan pada semester pendek kalau menentang dosen tersebut.

Aku menyiapkan materi ini bukan agar mereka mengamini pendapatku tentang agama dan kemudian meyakininya. Aku hanya ingin berbagi sudut pandang, tentang agama, tentang ketuhanan, dan lebih utama; tentang menyikapi perbedaan.

Dalam penelitiannya ketika tengah menulis buku Muhammad, Karen Armstrong berubah dari seorang yang membenci Islam, menjadi seorang yang merasakan kebenaran Islam, walau tidak menjadikan Islam sebagai keyakinannya. Sengaja kuangkat Karen Armstrong, karena menurutku karyanya dalam memahami sosok sang Nabi adalah salah satu sudut pandang humanis terbaik yang manusia hasilkan. Terlepas dari berbagai isu yang bilang bahwa buku dan pemikirannya tentang agama hanya gimmick marketing, menurutku penyampaiannya dalam setiap tulisan yang dibuat sungguh tajam, padat, dan tepat sasaran. Mereka yang men-judge Islam dengan sebutan agama teroris harus membaca tulisan-tulisan Karen Armstrong.

“Tunggu-tunggu!” suara berat Prof. Halex menghentikanku.

“Saya tahu arah pembicaraanmu 180072009.”

Dia menunjukkan kecerdasannya dengan menggunakan NIM untuk menggantikan nama kami. Pada satu sisi menunjukkan kemampuan hafalannya yang memang luar biasa, tapi di sisi lain dehumanisasi. Tidak memanusiakan manusia.

“Kamu mau mencoba mengambil kesimpulan bahwa ada kaitan antara Tuhan dengan peradaban manusia?!”

Menyadari dia akan melanjutkan kalimatnya untuk memojokkanku, aku lebih memilih diam. Lebih tepatnya, menunggu kesempatan mengeluarkan kata-kata pemungkas untuk mengakhiri cuci otak yang dia lakukan pada setiap mahasiswa di kelas ini.

“Kalau Tuhan memang ada, maka Tuhan adalah eksistensi paling biadab di dunia ini!” lanjutnya.

“Kamu tahu berapa banyak terjadi pembantaian mengatasnamakan agama dan ketuhanan?”

Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Pertanyaan yang memancing perhatian teman-teman sekelas. Aku sangat paham sorot mata mereka. Mata orang-orang yang sedang haus ilmu, atau lebih tepatnya haus konflik. Berharap sesuatu yang keren terjadi. Bahkan beberapa orang terlihat merekam dengan smartphone. Seperti tahu akan terjadi hal menarik yang bisa menjadi konten viral santapan netizen. Dan karena hanya fokus padaku, Prof. Halex tidak sadar atas penampakan kamera-kamera mungil tersebut, yang bahkan tidak berusaha disembunyikan teman-teman sekelasku.

Cinta SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang