Hah, Masih Revisi?

16.4K 1.1K 4
                                    

Bos hanya ingin karyawan bertanggungjawab dengan pekerjaannya, bukan mengerjai! –Divya, sok bijak menghadapi atasannya


Setelah Gilang kembali ke Jakarta, Divya baru satu kali bertemu dengannya. Pertemuan yang ditutup dengan debat kecil, lagi dan lagi. Gilang mengiriminya banyak pesan, tapi Divya hanya menjawab malas dan seadanya. Gilang mencoba menelepon, dengan sengaja Divya tidak mengangkat karena beralasan sedang sangat sibuk. Dia memang sedang diberi proyek baru, lebih besar dan rumit dari biasanya. Belum lagi ada dua anak baru sekaligus, yang satu masuk ke proyek Divya dan dia butuh waktu lebih untuk mengajarkan beberapa hal pada anak baru tersebut.

Divya baru saja kembali dari meja temannya setelah meminta data-data penting, temannya sudah survey lebih dulu ke lokasi perkebunan klien ini, sementara Divya belum sempat berangkat untuk survey tanah dan bangunannya. Jadwalnya bentrok dengan proyek lain yang juga sedang ia pegang.

Kepalanya terasa pening, ditambah masalahnya dengan Gilang yang berlarut-larut, tak kunjung selesai. Rasanya dia ingin mencemplungkan diri ke kolam es agar kepala dan tubuhnya dingin. Syaraf-syarafnya menjadi rileks dan tidak tegang.

Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan-lahan. Sedang mengatur emosi dan kewarasan sekaligus. Belum lima menit dia duduk di kursinya yang lumayan lama ditinggal, Wiwit sudah menghampirinya.

"Kantin yuk." Ajak Wiwit dengan wajah super ceria.

"Duluan. Masih betah sama kerjaan." Divya asal menjawab. Bola matanya terfokus pada data-data yang diberikan oleh temannya.

"Nggak laper lo ya? Kumat nanti mag lo, Di." Julia memperingatinya sambil menyisir rambutnya yang panjang.

"Ke kantin aja pake dandan. Palingan juga si Frans yang liat lo, Jul." Wiwit mengomentari kelakuan temannya. "Genit banget deh, Julia." Imbuhnya agak menyindir.

"Eh, lo lupa ya. Kita, kan, ada anggota baru, ganteng lagi. Siapa tahu dia mau ngajak gue dinner." Dengan pede-nya Julia menunjuk pintu kaca ruangan Arya. Atasannya itu belum keluar-keluar lagi sejak pukul 11.00 siang.

"Jangan kebanyakan ngimpi, Mbak." Divya ikut menimpali setelah mengecek data-data di hadapannya sekilas. "Gue nitip aja. Anything." Katanya sambil mengibaskan tangan kanan.

"Ikut aja sih." Bujuk Wiwit lagi, "gue nggak selera kalau makan bertiga doang, Di."

"Nggak selera nge-gosip maksudnya?" sindir Julia. Namun tak ditanggapi oleh Wiwit.

"Ada tugas negara nih. Udah sana buruan mbak-mbak yang bau parfumnya sampe lantai 50!" Divya menutup hidungnya rapat, mengusir.

Barusan Julia menyemprot parfum berkali-kali sampai Divya merasa mabuk. Hidungnya sensitive dengan bau yang terlalu menyengat seperti ini. Ia saja memakai parfum hanya sekadarnya, sebab pakaiannya sudah direndam dengan pewangi kesayangannya.

Sepeninggal teman-temannya, Divya kembali fokus. Targetnya di proyek ini harus selesai sebelum batas maksimal, supaya target akhir tahun nanti pun bisa kekejar. Ia mulai membuka-buka file pada komputer. Wajahnya terlihat serius, matanya tidak melenceng satu inci pun dari layar di hadapannya, hingga ia tersadar ada suara ketukan sepatu yang kian dekat.

"Kamu nggak makan?" suara itu berat.

Divya mendongak, ia takut salah dengar. "Bapak?" bosnya sudah di depan kubikelnya, menatapnya datar tetapi terkesan ramah. Lumayan ada sedikit peningkatan setelah berkali-kali Divya keluar masuk ruangannya dan bersitatap.

Harus begitu dulu ya, dimarah-marahin dan revisi berulang-ulang biar bisa diperhatikan oleh bos? Divya menahan kalimatnya. Okay, mungkin supervisorya tidak sampai memarahinya dengan sungguh-sungguh, hanya mengoreksi pekerjaannya dengan tegas dan cukup membuat kepalanya pening. Divya agak berlebihan menilai keburukan supervisorya.

"Saya nitip teman, Pak." Jawab Divya agak terlambat.

Arya terlihat mengangguk. Divya hendak bertanya balik, tapi bosnya telah masuk ke dalam ruangan dan kembali duduk di kursinya.

Lima menit kemudian...

"Di, saya barusan review laporan yang kamu serahkan kemarin. Masih ada kurang, lihat lagi di bagian yang sudah saya lipat." Kata Arya yang sudah berdiri di depan kubikel Divya. Melihat kerut di kening bawahannya, Arya lanjut menjelaskan. "Sepele saja sih ini, cuma kurang rata spasinya. Mungkin kamu lupa cek bagian yang itu."

"Haa?!" Divya shock sebentar, sampai akhirnya ia berhasil menguasi diri. Tahan... cuma sepele, gampang lah.

Seingat dia, Bu Gretta tidak pernah mempermasalahkan hal seremeh ini, tapi kalau bagi Arya penting, maka Divya akan berusaha semaksimal mungkin agar kesalahan sekecil apapun, bahkan lebih kecil dari pori-pori kepala, tidak akan pernah ia sepelakan. Ia harus lebih teliti lagi. Divya malah dibuat penasaran degan tugas akhir semasa kuliah supervisorya ini, mungkin hasilnya sempurna!

Arya masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sambil membawa laporan lain. "Di, Frans kemana ya?"

Duh... kalau begini terus, konsentrasiku kepecah-pecah! Divya ingin sekali melempar kalimat itu pada atasannya.

"Kantin pak, masih jam istirahat, kan?" ia menjawab sekaligus menyindir.

"Oh..."

Oh..? Divya meniru tanpa suara.

"Laporan dia juga masih perlu revisi. Sekalian bilang ke dia, lokasi di Jakarta Timur di-survey ulang, kalau bisa besok sudah berangkat." Jelas Arya tanpa ekspresi, tapi kali ini ia sempat menatap ke arah Divya sekian detik.

"Baik, Pak." Divya memberi anggukan kecil. Setelah Arya kembali masuk ke ruangannya, ia mengembuskan napas kesal, menatap data di komputer dengan kening berkerut. "Duh, sampai mana tadi?" digaruknya tengkuk yang tidak gatal.



Frans baru keluar dari ruangan Arya, wajahnya terlihat tidak bersahabat alias suntuk. Ia memegang report yang dibuatnya sendiri. "Tuhan... salah apa gue sampe punya Bos ngeri bener. Perasaan dulu sama ex Big Boss nggak sekejam ini deh." Katanya, misuh-misuh.

Divya cekikikan. "Itu karena Bu Gretta sayangnya pakai banget sama lo, Frans."

"Jadi, Bos yang ini nggak sayang sama gue gitu?" Frans berdiri di antara mejanya dan meja Divya. Ia setengah membanting report ke mejanya, kesal.

"Sayang juga, makanya lo disuruh benerin tuh data. Eh, kalau nggak sayang bukan gitu caranya." Divya berujar tenang, tangannya sambil sesekali mengetik. Ia mencoba untuk multitasking.

"Terus gimana kalau nggak sayang?" mata Frans menyipit.

"Langsung tendang." Divya memperagakan gerakan menendangnya, lalu tertawa renyah.

"Kurang ajar!" Frans membalas dengan pelototan tajamnya, tingkah temannya hari ini ada-ada saja.

Divya langsung mingkem ketika Arya mendadak keluar dari ruangannya menuju pantry.

Frans mencolek lengannya. "Mulut lo itu jahat banget, Di!" Katanya pelan dengan ekspresi menggemaskan. Lalu ia duduk di kursinya sebelum kena teguran ringan dari Arya.

"Baru segitu aja sudah ngeluh. Lo nggak tahu aja gue sudah bolak-balik kayak setrikaan berapa kali? Banyak! Minggu kemarin lo keluar kota sih, gue sampai buang banyak kertas tahu nggak!" Divya memasang tampang sedih, juga menyesal. "Nggak paperless banget."

"Bete dong, lo?"

"Enggak, biasa aja." Divya menjulurkan lidah kepada Frans. "Hehehe... bete sedikit kok." Ia mengoreksi, lalu nyengir lebar.

Frans mengangguk, tak heran bila karyawan kadang merasa sebal kalau banyak koreksian. "Eh, kabar Gilang gimana, lo udah ngomong lagi belum?" Frans mengalihkan topik utama.

Divya sempat mendelik sebentar. "Yah, bete banget deh gue!"

Frans tertawa lepas. Dia sengaja membuat temannya panas.

Kenapa sih si Frans harus mengingatkanku soalGilang?! Batin Divya kesal. Ia jadi susah konsentrasi lagi pada pekerjaannya.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang