Tanda Tangan

134 21 5
                                    


Sarung Pak RT hampir melorot, tetapi ia masih saja berusaha mengerek kurungan perkututnya tinggi. Setinggi-tingginya galah kurungan perkutut, tiang itu tidak lebih tinggi dari bambu penyangga antena televisi yang menancap di atap rumahnya. Entah bagaimana ceritanya, RT 07, daerah kumuh yang dipimpinnya sulit menangkap sinyal televisi. Jika diperhatikan, tidak ada gedung pencakar langit yang bisa memotong lajur sinyal. Rumah-rumah di daerah itu pun bukan kumpulan bunker bawah tanah yang kedap sinyal, hanya dempetan rumah-rumah yang tertata acak, saling tindih, saling gencet. Mungkin saja itu akal-akalan pemerintah yang sengaja menyembunyikan sinyal televisi dari perkampungan kotor itu. Dari dulu, televisi menjadi berhala bagi mereka. Ibu-ibu melongo menonton acara gosip murahan yang isinya rata-rata mengabarkan aksi rebut suami orang. Pelakor, kata-kata baru itu serperti permen yang enak diisap, manis untuk diucapkan, bergema di sudut-sudut kampung. Para lelakinya juga tak kalah latah, mereka rela mendapatkan tinta merah dalam buku absen dan didamprat mandor pabrik demi begadang tiap malam menonton si kulit bundar. Mereka tidak peduli apakah anak mereka tercebur got atau digondol Kalap, hantu penunggu pintu air jagir yang suka mengelabui anak-anak agar menceburkan diri ke sungai dengan bebek-bebekan berwarna kuning. Asal televisi mereka bisa menyala dan gambarnya bagus, mereka tidak ambil pusing.

Hampir semua rumah sepertinya berlomba mempunyai tiang bambu penyangga antena paling tinggi. Tidak masalah mereka berbagi dinding, yang penting mereka tidak berbagi tiang: satu rumah harus mempunyai satu satu antena televisi. Toh, berbagi dinding tidak ada ruginya, kecuali jika kebakaran. Kabar yang bocor dari pembatas rumah—yang kadang hanya berupa tripleks—menjadi hiburan lain saat televisi mereka beristirahat, biasanya pagi hari. Rahasia yang tidak disangka-sangka tertangkap telinga saat tetangga mereka menggunjing sebelum tidur, menjadi bahan obrolan pagi saat para perempuan menyapu rumah; dari mana Pak RT mendapat uang untuk membeli motor baru, janda di ujung gang yang kabarnya punya kekasih baru, juga Pak RW yang tiba-tiba alim dan minta dipanggil ustad.

Pak RW, kabarnya mendapat pencerahan setelah pulang dari Probolinggo. Dalam sebulan, janggutnya sudah tumbuh lebih lebat dari kambing kurban. Sarung yang biasanya menyampir di pundaknya pun sekonyong-konyong berubah menjadi gamis panjang. Kepalanya yang setengah botak kini tak terlihat, tertutup oleh surban Timur Tengah.

"Sebaiknya kamu segera kawin," katanya kepada pemuda yang mengurus surat pengantar kelakuan baik. "Asal kamu tahu, bujangan lebih banyak godaan untuk berbuat maksiat."

Di saat yang lain, Pak RW menceramahi warga sedang menyantap pisang goreng dan teh hangat, konsumsi kerja bakti. Ia mengatakan betapa pentingnya salat lima waktu. Ia mengeluhkan musala kampung yang sepi pengunjung. Ujung-ujungnya, ia pun memberi ultimatum, akan mempersulit keperluan mengurus surat-surat pada warga yang wajahnya tidak pernah nongol di musala. Yang hadir pun saling berpandangan, meyakinkan diri bahwa mereka sedang membersihkan selokan, bukan sedang mengikuti pengajian akbar dengan Pak RW sebagai ustadnya.

Sekarang, urusan Pak RW tak sekadar mengecat balai RW dan menandatangani surat pengantar ke kelurahan, tetapi merambah ke urusan akhlak warganya, dari masalah ibadah hingga perihal kelamin. Tak hanya warga, bawahannya pun mendapat tekanan untuk memperbaiki moral peduduk. Ia berkali-kali menyindir ketua RT 07, tempat paling onar menurut hematnya. Mungkin ia jengah. Di saat musala kampung menebar suara rebana berdebam-debam, di tobong Maryam ada suara jula-juli, menampar malam selepas isya. Yang satu memuja Tuhan, yang lain menertawakan. Menurutnya ini adalah penghinaan terbesar bagi Tuhan yang disembahnya. Sebenarnya, jika mau jujur, bukan suara Maryam dan anak buahnya yang mengganggu. Rumah-rumah kumuh di Pulo Wonokromo lebih mengganggu. Selepas pukul tujuh, semua televisi di RT 07 serempak menyetel ajang kompetisi menyanyi dangdut. Bunyinya sudah pasti sangat keras, melebihi speaker raksasa konser dangdut sungguhan di lapangan Kodam. Namun, menurut Pak RW, tobong Maryamlah yang paling mengganggu. Ia jelas tidak suka dengan isi tobong. Dengan dalih penciptaan manusia pertama hanya Adam dan Hawa, Pak RW menuduh kehadiran Maryam dan anak buahnya menyalahi kodrat. Berkali-kali Pak RW menyuruh Pak RT untuk menegur Maryam agar berhenti menjadi banci. "Tutup saja tobongnya jika ia tidak mau bertobat," begitu kata Pak RW.

Pak RT pun mungkin sudah jengah dengan teguran-teguran atasannya. Pada suatu kali, ia pergi ke warung kopi, memesan 'kopi setengah matang' kepada lelaki yang malas memasak air untuk termosnya. Ia mengeluh tentang perilaku Pak RW yang mulai menyuruhnya mengurusi kesehatan rohani warga. Katanya kepada pemilik warung, lebih baik ia mengurusi peringkilan tahi perkututnya yang menumpuk daripada menyuruh Maryam bertobat, apalagi menutup tobong miliknya. Warung kopi itu memang bukan warung kopi biasa. Di situ, burung pembawa kabar sering hinggap dan mencuri dengar apa saja yang sedang dibicarakan oleh pengunjungnya. Burung-burung itu mengambilnya sepotong lalu menyebarkannya menjadi berita baru. Seperti kabar keluhan Pak RT perihal kesalehan Pak RW yang sampai ke telinga Soleh menjadi: Pak RT ingin menutup tobong Maryam.

Seperti tikus got yang mendapat celah untuk masuk ke dapur, Soleh segera mendekati Pak RT. Dengan berbekal mulut manis dan cerita sepenggal-sepenggal tentang Pariaman, Soleh mengambil hati Pak RT. Tidak hanya sekali, tetapi hampir setiap bertemu, mulut Soleh lebih terdengar seperti toa terusan Pak RW, menjejali telinga Pak RT dengan cerita-cerita mengerikan tentang jenis kelamin ketiga.

"Di Pariaman, beruk-beruk pemetik kelapa itu hanya ada jantan dan betina, dan mereka sehat-sehat. Tidak seperti manusia setengah-setengah yang tinggal di tobong Maryam," ujarnya kepada Pak RT. "Pak RW sepenuhnya benar. Manusia diciptakan paling sempurna. Keberadaan Maryam dan tobongnya merendahkan nilai manusia, jauh di bawah beruk-beruk di Pariaman. Apa Pak RT tidak tahu pekerjaan mereka malam-malam setelah selesai mementaskan ludruk? Aku pernah melihat Maryam dan anak buahnya di jalan Irian Barat, juga bundaran Waru. Apalagi jika bukan menjajakan diri, menyebar penyakit kelamin."

Pak RT terdiam, ia ingat salah satu warganya mati misterius. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya, tetapi sekali lagi, kabar burung mengatakan jika warganya mati kena AIDS. Pak RT tidak akan menggubris kata-kata Soleh jika saja warga yang mati itu bukan salah satu dari penghuni tobong Maryam. Namun, karena yang mati adalah salah satu waria yang menghuni tobong, pikiran cekaknya menyimpulkan bahwa tobong dan isinya itulah yang menjadi penyebabnya. Dengan menyusupkan potongan-potongan cerita horor penyakit kelamin yang dibacanya dari selebaran di puskesmas, Soleh berhasil membuka mulut Pak RT. "Satu-satunya cara agar tobong Maryam tergusur adalah, keinginan warga. Kamu bisa membujuk warga?" tanya Pak RT pada akhirnya.

Seperti girangnya anak-anak kampung bertelanjang dada yang menang futsal, seperti itulah hati Soleh bersorak. Gawang Pak RT sudah jebol. Ia sudah memberi lampu hijau kepada Soleh untuk bergerak. Perkara bujuk membujuk bukanlah masalah. Soleh bermulut madu, berlidah cabang. Ia sudah mengantungi beberapa nama yang bisa dibujuk untuk merobohkan tobong Maryam. Tak butuh waktu lama bagi Soleh untuk mengumpulkan dua puluh tanda tangan itu. 

Bakiak MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang