"Eh Pak Farin," sapa Sami sambil duduk di samping Heldi. "Gimana sekarang harga gula aren?"

"Cukuplah buat makan sehari-hari," sahut pak Farin.

"Minum apa?" tanya mang Memet pada Sami dan pak Farin.

"Air es aja," jawab Sami.

"Aku es teh, biar seger di tengah terik kayak gini." Pak Farin mencomot pisang goreng di hadapannya.

"Oh ya, Hel soal kekurangan pemain tadi biar aku saja yang nambahin. Jam berapa mainnya?" Iwan berusaha menutupi seribu tanya pada pak Farin.

"Gitu dong!" Heldi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Jam empat sore, kalau enggak ada sepatu, aku ada dua di rumah."

"Masih ada kok sepatu lama," jawab Iwan seraya berdiri. "Berapaan nih, Mang?"

"Dua ribu."

Iwan pun berlalu setelah melakukan pembayaran pada mang Memet. Kepala pemuda itu terus memikirkan si kepala dan pak Farin. Apakah ada hubungan di antara keduanya? Iwan yakin pak Farin bermaksud menolong si kepala.

🌰🌰🌰

Iwan mengebulkan cincin-cincin asap ke udara. Matanya nanar mengikuti angin yang membawa cincin-cincin semu buatannya itu. Kicau burung dan monyet liar yang bersahutan menjadi instrumen tersendiri di telinga pemuda itu. Entah berapa lama ia larut dalam buaian alam dengan duduk di dipan paring buatan mang Dian tepat di bawah pohon ramania ***).

"Oi!" seorang bapak-bapak berperawakan pendek dan kurus duduk di samping Iwan. Membuat pemuda itu sedikiy berjengit. "Ngapain sendirian di sini?"

"Lagi menghitung bintang," jawab Iwan sekenanya.

"Mana ada bintang di siang bolong, Wan."

"Ada kok."

"Mana?"

Iwan menunjuk dadanya. "Bintang hatiku."

"Dasar bocah! Lagi kasmaran ya?"

"Enggak, ini lagi ngerokok, Pak Ali." Iwan menyodorkan kotak rokok beserta koreknya. "Mau?"

"Enggak," jawab pak Ali. Tapi, tangannya dengan tangkas mengambil rokok Iwan dan mengepulkan asapnya.

"Enggak salah lagi," timpal Iwan.

"Betul."

"Pak, nanya boleh?"

"Boleh, asal ada rokoknya."

"Kenapa ya ada orang yang mau jadi kuyang?"

"Katanya sih biar disayang suami."

"Emang ada ya suami yang enggak sayang sama istrinya? Kalau gitu ngapain dinikahin kalau enggak disayangin?" cerocos Iwan.

"Ya ada dong."

"Kok Iwan enggak pernah denger ya ada kuyang terciduk warga?"

"Enggak bakalan, kalau pun terciduk orang enggak bakalan tega buat ngasih tau yang lain."

"Kok gitu?"

"Kuyang itu punya ilmu pengasihan. Makanya, kalau ada orang yang lihat dia sedang kesusahan tuh dengan mudah ngebantuin, udah gitu orang tersebut tiba-tiba jadi pemegang rahasia ulung soal identitas si kuyang."

"Wow!" Iwan tiba-tiba teringat rasa iba di hatinya saat melihat kepala yang tergantung di pohon aren.

"Kenapa tiba-tiba ngomongin kuyang?"

"Eh, anu ... penasaran aja sih."

"Penasaran kok sama kuyang, kayak pernah ketemu kuyang aja."

Iwan segera menyalakan bilah rokok barunya dan mengisap dalam-dalam. Kepulan asap tidak beraturan pun keluar dari mulut dan hidungnya. "Si Rudi tuh ngomongin kuyang aja dari kemarin, Iwan kan jadi penasaran."

"Halah ... anak muda kok ngomongin kuyang, entar kepincut kuyang baru rasa."

"Emang ciri-ciri kuyang tuh gimana?"

"Kalau ada orang lahiran, kepalanya terbang, nah ... itu kuyang banget."

Iwan terbahak mendengar penjelasan sepupu mamanya tersebut. "Maksud Iwan, kalau lagi jadi manusia gimana cirinya? Biar kalau Iwan tau enggak bakal pedekate sama itu kuyang."

Pak Ali diam saja.

"Rokok lagi?" Iwan kembali menyodorkan bungkus rokoknya.

Pak Ali segera menyambar rejeki yang ada di depan mata itu. "Ada garis merah melingkar di lehernya," jawabnya.

Iwan menatap lurus ke arah Inur yang berdiri di depan warung Puah sekitar lima belas meter dari tongkrongan Iwan dan pak Ali. Inur juga tengah menatapnya dengan raut enggak terbaca.

"Tapi, kuyang enggak segoblok itu, buat nunjukin lehernya. Apalagi kuyang kan perempuan, bisa aja ditutupi sama selendang atau pun jilbab."

Iwan masih terpaku pada Inur.

"Kuyang tuh ...." Pak Ali tidak melanjutkan kalimatnya. Ia justru menatap nanar ke arah Iwan dan sorot matanya berulang-ulang. "Liatin apaan, Wan?"

"Inur."

"Mana?"

"Tuh di depan warung Puah."

"Enggak ada siapa-siapa di situ, Wan."[]








***) Ramania dalam bahasa Indonesia disebut Gandaria adalah salah satu buah endemik Kalimantan yang berbentuk bulat, berwarna hijau saat mentah dan kuning saat matang. Ciri khasnya yaitu bijinya yang berwarna ungu. Karena rasanya yang sepat, buah ramania mentah sering dibuat bahan sambel bagi masyarakat Kalimantan.


LA, 4/4/20
Makasih dukungan dan kesetiaannya untuk menunggu🙏

Telaga KuyangDove le storie prendono vita. Scoprilo ora