🌰Dua🌰

3.3K 151 60
                                    

"Rud, ayat Kursi, Rud!" teriak Iwan. "

"Lupa aku, Wan," bisik Rudi.

"Sama!" balas Iwan sambil meringis menahan perih dari cengkeraman kuat di kakinya.

Lolongan anjing bergema di indera dengar kedua pemuda itu. Membuat nyali keduanya semakin ciut. Terlebih lagi Iwan yang dalam kondisi tidak bisa melangkah, sementara kedua tangannya terus ditarik Rudi.

"Kalian lagi apa?" Suara di belakang Iwan menyentakkan kedua pemuda yang dilingkupi rasa takut luar biasa itu.

Rudi menelan saliva, tangannya semakin kuat menggenggam lengan Iwan. Matanya menatap lurus ke balik punggung temannya itu. Pada si pemilik suara yang memiliki perawakan kurus, menyandang butah *), memegang sebilah tongkat panjang, dan diiringi tiga ekor anjing.

Melihat ekspresi Rudi yang tidak biasa, Iwan pun ikut menoleh. "Julak Bulanang?"

"Iwan ya?" Sosok kurus itu melangkah menuju mereka.

"Iya, Julak," jawab Iwan. Pemuda itu tidak menyadari hilangnya cengkeraman tangan di kakinya.

"Lama tidak kulihat kamu, Wan." Langkah julak Bulanang membuat jembatan gantung sedikit bergoyang. "Sedang apa kalian?"

Sontak Rudi melepaskan genggamannya pada lengan Iwan. "Lagi ronda, Julak."

"Oooh ... mau ngopi dulu si rumah Julak?"

Iwan melirik ke iringan anjing di belakang julak Bulanang. "Sudah larut, Julak. Lagipula Julak tampaknya baru sampai, mungkin butuh istirahat."

"Lama kita tidak mengobrol, Wan." Julak Bulanang seakan tidak mengerti penolakan halus Iwan.

"Besok atau lusa saja, Julak," sahut Iwan. "Iwan akan lama kok tinggal di sini, mungkin enggak akan pergi lagi."

"Apalagi kalau udah nikah sama Inur, Julak," timpal Rudi.

"Aaah ... seperti tidak ada wanita lain saja," tambah julak Bulanang.

Seketika tiga anjing julak Bulanang menyalak-nyalak ke arah hilir sungai yang berada di bawah jembatan. Membuat Rudi dan Iwan berjengit. Sementara sorot mata julak Bulanang tajam menatap ke arah yang sama dengan anjing-anjingnya. Sedangkan Iwan dan Rudi merasakan sensasi dingin, yang tadinya mereka rasakan sebelum kaki Iwan dijerat tangan tanpa tuan tadi. Sontak saja Iwan menyikut pinggang Rudi.

"Julak, kami mau muter kampung lagi ya," pamit Iwan.

Tanpa menunggu jawaban julak Bulanang, kedua pemuda itu segera beranjak ke jalan gang yang tadinya semen mulus meski sempit, sekarang jalan itu lebih seperti jalan gang berbatu biasa. Maklum jalan buatan tim pemerintah, pembelian bahannya mesti disunat dulu. Tentu saja keadaan itu membuat kaki buru-buru Iwan dan Rudi beberapa kali tersandung. Terutama Iwan, yang telah lama tidak menempuh medan tersebut.

Suara salakan anjing-anjing julak Bulanang masih bergema seiring langkah Iwan dan Rudi. Keringat dingin kian membanjir di tubuh keduanya.

"Aku bersumpah, enggak akan sudi keliling kampung jalan kaki lagi," gerutu Rudi di sela deru napasnya.

"Olah raga malam, Rud," sahut Iwan, ia menahan hasrat ingin menangis karena jari kakinya beberapa kali menabrak bebatuan. "Perasaanku aja atau jalannya agak lebih jauh dari biasanya, ya?"

"Sepertinya kita sependapat," Rudi menimpali.

Tanpa keduanya sadari, mereka sudah melewati jalan yang sama puluhan kali. Terlihat jelas dari berapa kali Iwan dan Rudi melewati rumah Ben yang bertetangga dengan julak Bulanang. Kadang rumah Ben ada di kiri mereka, kali berikutnya rumah itu ada di kanan mereka. Tapi, Iwan dan Rudi merasa terus berlari lurus menuju jalan desa yang beraspal.

"Aku capek, Rud!" seru Iwan.

"Sama," balas Rudi ditengah deru napasnya. "WAN! LIHAT!" teriak Rudi, matanya menatap lurus ke rumah Ben.

"APA?!" Iwan tidak kalah terkejutnya menatap ke arah yang sama. "Enggak mungkin! Kurasa kita sudah berjalan sangat jauh, kok ini baru di depan rumah Ben?"

Rudi segera duduk di teras rumah Ben. "Sudahlah, mungkin sebaiknya kita istirahat di sini."

"Apa sebaiknya kita ke rumahku saja? Kita cuma perlu menyeberangi jembatan itu kembali." Iwan duduk di samping Rudi.

"Jembatan lagi?" Rudi berbaring dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. "Yang bener aja, Wan."

"Masa kita tetap di sini sampai pagi?" Iwan ikutan tiduran, ia yakin keringatnya sukses membasahi teras.

"Aku males berurusan sama tangan enggak bertuan," gumam Rudi.

"Aku capek." Iwan akhirnya menyerah dengan kelopak matanya yang entah bagaimana memberat. Pemuda itu terpejam, terbuai angin malam, hingga terlelap.

Rupanya Rudi pun mengalami hal yang serupa. Sementara itu, banyak mata tengah memerhatikan keduanya. Ada beberapa pasang mata yang menatap dua manusia malang yang tengah dibuai jari-jari berkuku panjang makhluk penuh bulu itu. Sementara mata-mata yang lain hanya menatap sekilas dan berlalu begitu saja. Semua mata itu pun milik makhluk dari alam lain.

Iwan seolah membuka matanya, bangun dari tidurnya dan melihat sekeliling yang sudah terang benderang. Begitupun dengan Rudi. Mereka berdua saling bertatapan tanpa bisa bersuara. Keduanya berdiri di tanah dan terbelalak melihat ke teras rumah Ben, di mana jasad keduanya masih terbujur di sana.

Iwan dan Rudi pun saling lempar pandangan penuh tanya. Keduanya seolah bisu, tiada sepatah kata pun mampu keluar dari pita suara mereka. Iwan menatap orang-orang yang melintas di jalan--tiada satu pun yang ia kenali. Padahal tidak seorang pun di Telaga Langsat yang asing baginya. Orang-orang yang melintas di depannya mengenakan baju yang tampak seperti zaman dulu, para lelaki mengenakan celana setengah tiang dan kemeja yang semua kancingnya ditutup, para wanita bersanggul dengan kebaya yang membalut tubuh dan sarung batik sebagai bawahannya.

Iwan memutuskan untuk mengikuti seorang wanita muda yang tampak seperti noni Belanda--mengenakan dress putih dan rambut dikuncir dua. Rudi yang tidak mau ditinggal sendiri pun terpaksa mengikuti jejak Iwan. Sesekali keduanya saling lirik--penuh tanya.

Noni Belanda itu seolah tidak tahu ada dua pemuda yang mengikutinya. Ia terus saja berjalan dengan santai melewati jembatan gantung, dan berbelok ke kanan. Yang membuat Iwan bertanya-tanya, tidak seorang pun dari orang-orang yang melintas di sini saling sapa, termasuk si noni Belanda.

Iwan melihat rumahnya. Tapi, ia justru lebih tertarik untuk terus mengikuti langkah noni Belanda itu. Begitu pun dengan Rudi. Mereka menapaki jalan setapak yang mulus, Iwan dan Rudi yakin sebelumnya tidak ada jalan sebagus itu di desa mereka. Jalan setapak itu melewati sela-sela rumah Padli dan Upik--keduanya sepupu Iwan. Tapi, mereka terus saja berjalan menyusuri jalan setapak di belakang noni Belanda tersebut.

Rudi menyikut Iwan tatkala melihat bangunan-bangunan mewah di pinggir jalan setapak. Iwan mengangguk pada Rudi, sebagai persetujuan atas keheranan keduanya. Sesekali mereka berpapasan dengan angkutan tradisional yang menggunakan tenaga sapi, tampaknya seperti membawa hasil bumi yang melimpah.

Seingat Iwan, daerah yang kini di tapakinya tidak ada bangunan satu pun. Tapi, di sini sungguh ramai. Anehnya, tidak seorang pun terlihat bercakap atau saling sapa. Semakin jauh mereka melangkah, semakin indah bangunan-bangunan di pinggir jalan, hingga mereka sampai di satu bangunan yang termegah dengan undakan tangga serupa emas.

Iwan dan Rudi berhenti di depan bangunan tersebut karena si noni Belanda masuk ke sana. Sebelum punggung noni Belanda itu hilang di balik pintu berukir emas, ia menoleh ke arah Iwan dan Rudi. Wajah si noni Belanda membuat dua pemuda tersebut tersentak.[]










*) Butah adalah tas dari ayaman rotan atau plastik yang menyerupai ransel. Biasanya digunakan orang Kalimantan untuk menyimpan bekal untuk ke hutan maupun sawah.

LA, 16 Juni 2019

Telaga KuyangWhere stories live. Discover now