🌰Empat🌰

2K 99 91
                                    

Iwan melangkah perlahan menuju pohon aren, tempat kepala itu tergantung. Tapi, baru beberapa langkah, seseorang mendahuluinya. Pria yang sangat dikenal Iwan itu melangkah cepat, memanjat pohon aren lewat sebilah bambu besar yang diukir menyerupai tangga. Ia menurunkan kepala yang tersangkut itu perlahan.

Tanpa ragu lagi, Iwan segera kembali ke dapur rumahnya. Menutup pintu dan memerhatikan kejadian di luar sana lewat dinding rumah yang berlubang sebelum si lelaki menyadari keberadaannya. Dilihatnya lelaki itu berbicara pelan dengan si kepala, kemudian dengan penuh kehati-hatian si kepala dimasukkannya ke dalam butah yang tergeletak beberapa meter dari pohon aren. Lelaki itu pun bergegas pergi dengan memanggul butah berisi kepala di punggungnya. Sementara Iwan, tiba-tiba merasakan lemas pada lutut dan jantungnya berdetak cepat, membuatnya terpaksa berlutut di balik pintu dapur.

Suara gaduh berkelontangan di depan rumah diiringi teriakan sang mama, membuat Iwan kembali menemukan tenaganya. Ia segera berlari ke teras, meninggalkan suara berderit pada lantai kayu yang dipijaknya. "Ada apa, Ma?"

Namun, mama Iwan hanya diam. Wanita renta itu menatap lurus pada lelaki yang tadi membawa si kepala di butahnya. Lelaki itu dengan cepat mengayuh sepeda menyeberangi jembatan gantung.

"Ma?" Iwan menghampiri sang mama.

"Ya?" Mama Iwan tampak kebingungan.

"Ada apa, Ma?" Iwan mengulangi pertanyaannya.

"Enggak ada apa-apa." Mama Iwan memungut baskom yang berbahan seng di tanah. Kemudian, wanita renta itu berlalu begitu saja tanpa menatap Iwan yang terpaku di teras rumah.

🌰🌰🌰

"Entar sore ada tarkam. Tapi, tim kita kurang satu nih," ujar pemuda berperawakan jangkung dan kulit hitam.

"Emang main lawan kampung mana?" tanya Iwan sambil menyeruput kopinya.

"Kampung Datar, Hamak," jawab pemuda tadi.

"Wah bakalan seru tuh," timpal lelaki berkumis sembari meletakkan secangkir kopi di depan si jangkung.

"Di tim kita siapa aja yang main, Heldi?" selidik Iwan.

"Anak-anak biasa, aku, Ben, Rudi, Fadil, si kembar Irwan, Erwin, Udin, Sami,
Fauji, dan Ison," jelas Heldi.

"Mau Mang Memet tambahin biar seru?" sahut pria berkumis lagi.

"Emang Amang masih kuat lari?" Heldi mendelik ke arah perut mang Memet.

Iwan hanya bisa menahan tawa. Pemuda itu takut menyinggung perasaan si pemilik warung. "Dulu Mang Memet ini striker terbaik di Telaga Langsat loh." Iwan menjawil paha Heldi di balik meja.

"Iya sih, zaman kita masih mimi cucu." Heldi memonyong-monyongkan bibirnya.

"Ya kurang lebih dua puluh tahunan yang lalu lah," ujar Mang Memet sedikit membusungkan dadanya. "Amang pernah membawa nama Telaga Langsat juara satu piala Bupati."

"Iwan ingat banget nih, waktu itu Mang Memet larinya gesit dan tubuhnya juga langsing," tambah Iwan. Kali ini ia tidak hanya menjawil Heldi. Tapi, sendalnya menyenggol-nyenggol kaki Heldi.

"Oh iya, Mang Memet pernah langsing," celetuk Heldi. "Christiano Ronaldo sih lewat ya, Wan kalau soal gocekan bola sama Mang Memet."

"Iya dong," sahut pemuda lain yang datang dari belakang Iwan dan Heldi. "Untungnya Christiano Ronaldo hidup di Portugal, coba kalau di Telaga langsat, selesai dia."

"Bener banget, Sam kalau CR di sini sih udah disuruh Mang Memet bikin gorengan," tambah Iwan diiringi derai tawa kedua temannya.

"Sudah kusuruh naik pohon aren juga," timpal lelaki yang tadi pagi dilihat Iwan menolong si kepala. Lelaki itu memarkirkan sepedanya di pohon belimbing wuluh tidak jauh dari warung mang Memet. Ia pun duduk di sebelah Iwan dengan ekspresi biasa saja, seakan mengindahkan tatapan menyelidik Iwan.

Telaga KuyangWhere stories live. Discover now