BAB 9

2.9K 171 1
                                    

Sepanjang perjalanan pulang Ajeng hanya diam, sambil menatap ke arah jendela. Ajeng kembali memikirkan sang ayah. Ia tidak ingin menjadi anak yang tidak berbakti terhadap orang tua, karena membiarkan ayah hidup sendiri. Keputusan yang ia ambil memanglah tepat, jika bukan dirinya siapa lagi. Karena dia adalah anak satu-satunya.

"Kamu masih sedih," ucap Aru, karena terlihat jelas kesedihan pada wajah cantik itu. Setelah menangis entahlah aura kecantikkan Ajeng semakin terpancar.

Mungkin orang memiliki pandangan tersendiri terhadap wanita cantik itu seperti apa. Ada yang mengatakan wanita cantik itu ketika tersenyum, ketika tertidur, atau ketika berbicara. Tapi menurut dirinya wanita terlihat cantik ketika sedang menangis. Kerena ekspresi yang di keluarkan benar-benar alami.

Ajeng mengangguk dan mengakui bahwa hatinya masih sesak. Aru menggigit bibir bawah dan mengulurkan tangan kiri.

"Mendekatlah,"

Ajeng lalu mendekatkan tubuh ke lengan kiri Aru. Ia tidak munafik, bahwa pelukkan Aru sungguh menenangkan. Ia butuh sandaran agar menguatkan hatinya. Biasa Tatanglah yang memberi sandaran, ketika ia sedang bersedih. Tapi sekarang sahabatnya itu tidak bersamanya lagi. Untuk apalagi ia pikirkan,

Aru mengusap kepala Ajeng, sekilas mengecup puncak kepala itu, "Aku tahu kamu sedih," ucap Aru tenang.

"Jika hati kamu sudah tidak di sini lagi, sebaiknya pergilah, temani beliau. Karena kamu adalah putri satu-satunya yang beliau harapkan untuk menemani hidupnya,"

"Beliau sangat menyayangi kamu,"

"Ada saat nya kita pergi untuk melepaskan, tapi ada saatnya pergi untuk meraih kebahagian. Hidup emang seperti itu,"

Apa yang Aru ucapkan adalah benar adanya. Ia menatap iris mata Aru, Aru membalas pandangannya. Tatapan itu sulit di artikan, seolah dialah laki-laki yang bisa memahaminya.

"Apa rencana kamu selanjutnya," gumam Aru, menyadarkan dirinya. Karena mereka terlalu lama saling berpandangan membuat jantungnya maraton. Ia memandang lurus kedepan, kembali fokus dengan setir,

"Resign," ucap Ajeng pelan. Itulah yang ada dipikirannya .

"Kapan?"

"Mungkin besok,"

Aru mengerutkan dahi, "Secepat itu,"

"Iya,"

"Bagaimana dengan tawaranku pergi ke Semarang?"

"Iya aku mau ikut,"

"Terima kasih,"

Aru tersenyum mendengar jawaban Ajeng, ia mengusap punggung Ajeng secara perlahan. Ah, ia sepertinya tidak rela melihat kepergian wanita ini. Masih banyak hal yang ia ketahui tentang hidup Ajeng. Tapi lihatlah wanita ini malah ingin meninggalkannya.

"Kerumah aku dulu ya, aku yakin Rama sudah menungguku di teras, karena aku lupa memberi kunci serap untuk Rama. Koper Rama juga masih ada di bagasi belakang," ucap Aru.

"Iya,"

"Untuk masalah mobil, aku akan menyuruh Jo mengantar ke rumah,"

"Masalah pembayaran ...,"

"Akan kita bicarakan nanti," Aru lalu memotong pembicaraan Ajeng. Entahlah saat ini ia berubah haluan, tidak ingin Ajeng yang membayar kerusakan mobil. Terlebih itu adalah mobilnya, walau ia tahu Ajeng lah yang bersalah.

"Besok aku langsung ke bengkel membayar semuanya," gumam Ajeng.

********

Beberapa menit kemudian Aru menghentikan mobil halaman rumah. Ajeng mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Rumah minimalis yang modern menurutnya, taman dan rumput hijau itu terawat sangat baik. Ajeng yakin si pemilik rumah menyuruh tukang kebun profesional untuk mengurus semuanya. Warna putih mendominasi rumah. Ajeng mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki berseragam putih abu-abu yang duduk di teras.

MY LOVE MY CEO (SELESAI)Where stories live. Discover now