Bhre Daha

1.8K 47 0
                                    

Setiap dupa itu habis, maka dia akan langsung mengganti dengan membakar yang baru, tidak perduli itu siang ataupun malam, bahkan saat bangun dari tidurpun, dia selalu melihat dupa itu menyala atau sudah habis.

Kadang tanpa dia sadari, setiap menyalakan dupa, air mata terasa menetes dengan sendirinya.

Ada kesedihan yang begitu mendalam yang dirasakan saat ini, seolah olah air mata itu tidak pernah kering.

" benar dalam pandangan ayah, tapi tidak benar dalam pandangan Majapahit "

Kata kata itu sering dia ulang ulang, ibarat sebuah mantra yang harus dia ucapkan sebelum membakar dupa.

" hormat yang mulia "

" ada apa penjaga ? "

" ada rakryan Naracaka ingin menghadap yang mulia gusti putri bhre Daha"

Sejenak dia terdiam, mencoba untuk mengingat orang yang ingin bertemu dengan dirinya.

Rakryan Naracaka, dia termasuk orang istana Majapahit, dan sangat dekat dengan gusti prabhu Wikrama Wardhana.

" persilahkan dia "

" daulat yang mulia "

Bhre Daha mencoba untuk menebak nebak dalam hati, ada gerangan apa rakryan Naracaka datang ke Daha ?,
apa ingin mencopot dirinya dari kedudukan bhre, atau menangkapnya, karena putri bhre Wirabhumi ?.

Saat melihat wajah rakryan Naracaka masuk ruangan, hati bhre Daha kian berdebar debar dengan penuh rasa kekhawatiran.

" hormat yang mulia gusti putri bhre Daha "

Bhre Daha tidak langsung bertanya, meski usianya sangat muda, namun dia mencoba bersikap berwibawa di depan utusan Majapahit tersebut.

" ada keperluan apa Majapahit mengutus anda kesini ? "

Rakryan Naracaka tidak langsung menjawab, dia mengeluarkan sebuah gulungan dari lontar, dan menyerahkan kepada bhre Daha.

Naracaka mengawasi ekspresi raut wajah bhre Daha, dari situ dia berharap bisa untuk mendapatkan jawaban, namun yang terlihat justru diluar dugaan, raut wajah bhre Daha datar datar saja.

" sebelum aku menjawab isi surat ini, aku ingin mengajukan pertanyaan "

" dengan senang hati, hamba akan menjawab setiap pertanyaan gusti putri "

Bhre Daha terdiam sesaat, dia mencoba menguatkan seluruh emosi dalam dirinya.

" siapa yang membunuh ayahku ?, dan jangan katakan tidak tahu "

Rakryan Naracaka tidak pernah menduga, jika bhre Daha akan menanyakan pertanyaan ini.
Semula dia akan menjawab prajurit Majapahit yang membunuh Wirabhumi, namun jawaban itu dia urungkan.

" tuan Gajah Narapati "

" berarti dia yang memenggal kepala ayahku ?"

" kalau itu hamba tidak tahu"

Rakryan Naracaka sebenarnya tidak ingin melanjutkan membahas kematian bhre Wirabhumi, namun dia tidak berani untuk menyelanya.

" apakah lamaran gusti prabhu Wikrama Wardhana ini cuma ingin menghapus kesedihanku ?, tidak akan semudah ini rakryan Naracaka, bagaimana aku bisa bahagia jika kehilangan seorang ayah ? "

Rakryan Naracaka kembali terdiam, kini dia cuma pasrah dengan apa saja yang akan bhre Daha katakan.

" jika aku menerima lamaran ini, maka aku akan tinggal di istana Majapahit, dan bersama dengan orang yang telah membunuh ayahku "

Rakryan Naracaka kian tenggelam dalam kebisuan, rasanya lidahnya sudah keluh, dan tidak sanggup lagi untuk memberikan pendapat.

" bagaimana jika aku nanti di istana Majapahit, dan melihat wajah Narapati, apa tidak membuat hatiku kian  sedih ? "

Beberapa saat bhre Daha terdiam, dan ini kesempatan bagi rakryan Naracaka untuk mengatakan sesuatu.

" Tapi dengan menerima lamaran gusti prabhu Wikrama Wardhana, berarti anda sudah mewujudkan setengah langkah dari keinginan ayah anda "

Bhre Daha tidak mengerti dengan maksud ucapan Naracaka tersebut.

" apa maksudmu ? "

" ayah anda menginginkan tahta Majapahit, karena dia merasa berhak atas tahta tersebut, dan sebelum dia meninggal beliau mengatakan, tahta Majapahit itu hakku, dan pasti akan menjadi milikku "

Mendengar penjelasan Naracaka, bhre Daha terdiam, dia mencoba memikirkan kata kata barusan.

" dengan menerima lamaran gusti prabhu Wikrama Wardhana, maka sedikit banyak anda punya kuasa atas Majapahit "

" tapi itu belum sepenuhnya mewujudkan keinginan ayahku ? "

" kita tidak akan pernah tahu kejadian esok hari gusti putri, yang kita tahu cuma saat kita jalani hidup saat ini "

" bagaiman mungkin aku menjadi ibu suri Manggala Wardhana yang usianya di atasku ? "

" semuanya di kebaikan anda gusti putri "

" ijinkan aku berpikir untuk tiga hari kedepan "

" sendiko yang mulia gusti putri bhre Daha "










Ksatria Majapahit 3 Tahta SuhitaOnde histórias criam vida. Descubra agora