Bab 1

8.3K 429 45
                                    

Kalau koment, panggil aku Sima ya. Hihihiii...

Aku berdiri di sini, menatap hari dalam sepi. Bergelut dengan kesibukan yang tiada henti. Mengalihkan perhatian dari hati yang butuh teman. Ketika mereka melangkah berdua, aku masih di tempat yang sama. Terkadang, aku ingin menggenggam tangan dan jalan beriringan. Apalah daya, organ di rongga dada ini belum terketuk jua.

Ada yang bilang, wanita berparas ayu dan seksi itu menggoda. Namun bagiku, tawa ceria anak-anak ini lebih memesona daripada mereka. Di sinilah aku, berdiri di tengah ruang rawat anak kelas tiga Rumah Sakit Internasional, bersama pasien-pasien yang hendak pulang sore ini. Mereka datang dengan tangis, pulang membawa senyuman. Kado yang istimewa melebihi pernikahan. Sebab itulah, ibu menuntutku.

Beliau ingin agar aku segera menikah. Selain usia, kemapanan dan ... cucu menjadi alasannya. Sudah sering kali aku dipaksa untuk melakukan berta'aruf dengan putri dari kenalan ibu. Namun, selalu saja kutolak. Kabur menjadi solusi. Mengobrol dengan pasien-pasien kecilku menjadi pilihan.

***

“Sima, bangun! Ibu mau ajak kamu ketemu sama gadis pilihan bude. Anak temen SMA-nya. Bidan desa dan cantik, lo. Ibu udah lihat fotonya. Mau, ya?”

Kututup telinga dengan bantal. Sebentar saja, aku butuh waktu sedikit lagi untuk bergerilya dalam mimpi. Aku yang biasa bermalas-malasan di hari Minggu, tak ingin mengubah jadwal itu.

Kemarin, kami sempat membahas soal ini. Perjodohan. Lagi. Gadis itu memiliki profesi yang klop dengan pekerjaanku, bidan. Gadis berjiwa sosial tinggi, suka anak kecil, dan ramah mungkin. Ah, penilaian standar. Bukankah ada bidan yang garang? Bagaimana kalau dia sedikit ganjen seperti Ava, salah satu perawat di Morula IVF? Itu menyeramkan.

Sekali lagi ibu memanggil. Ah, baiklah. Aku bangun meski dengan terpaksa. Lagi pula aku sudah terlanjur janji dengan bude. Wanita bijak itu pasti tidak akan main-main ketika memilihkan pasangan untukku. Aku pun dibebaskan jika nanti tidak menemukan kecocokan.

“Ibu, ini yang terakhir. Jika tidak cocok, jangan lagi menjodohkan Sima dengan gadis mana pun. Sima punya hak untuk memilih. Oke?” ujarku yang telah berpakaian rapi dan siap pergi.

"Kali ini, pilihan ibu nggak akan salah. Yakin, deh. Cuz ah, berangkat, dia pasti udah nungguin kita."

Aku memutar bola mata kala ibu menggandeng lenganku manja. Senyumnya membuatku semakin penasaran akan sosok yang hendak kami temui. Seperti apa dia hingga ibu tak melepas lengkung itu selama perjalanan.

Satu jam lamanya kami duduk di kendaraan roda empat, tapi tak jua kutemui lokasi pastinya. Mendaki gunung, lewati lembah, ah, aku serasa jadi ninja Hatori versi modern. Terkadang, hamparan pematang sawah membuatku linglung, benarkah atau kami hanya berputar-putar saja?

Google map sangat berfungsi mencari posisi seseorang. Namun, terkadang aplikasi ini penuh tipu daya. Pernah sekali aku dijerumuskan dalam gang sempit, mau putar balik pun susah. Alhasil, aku terpaksa mengorbankan mobil kesayangan ini baret kanan-kiri.

Sekarang, aplikasi ini berulah. Dia ingin mengajakku bermain atau bagaimana? Tak ada sinyal, low batt. Kesialanku bertambah saat kucoba menelepon wanita itu, tapi si cantik Veronika yang selalu menyapa.

Dan lihatlah bagaimana tingkah mommy-ku tersayang! Dia mendengkur di saat yang tidak tepat.

Menyerah. Kuparkir mobil di bawah pohon beringin, sebab jalan tak beraspal di depan cukup membuat hati ragu. Hela napas lelah berulang kali kulakukan. Kini, apa lagi yang bisa kuperbuat selain bersandar dan menunggu bude.

Detik waktu terus bergulir. Bosan. Aku beranjak dari ruang kemudi. Setelah melewati bagian depan mobil, kuhentikan langkah di bawah beringin, mengamati deretan padi nan hijau. Angin bertiup kencang. Mungkin karena tak ada penghalang. Sementara kunikmati pemandangan, sebotol air di tangan habis sudah.

[ ✔️ ] Be Her Savior Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang