Ending

3.1K 218 21
                                    

22. Ending

Tercium bau menyengat yang menyesakkan dada. Paru-paruku terhimpit. Laju nafasku memendek. Tenggorokanku sangat gatal dan batuk terus-menerus. Kenapa ini? Apa ini gara-gara asap yang hampir memenuhi ruangan! Atau jangan-jangan ini gas beracun? Jadi, itu katanya mati tanpa menyakitkan. Omong kosong! Ini tetap saja sakit.

Aku harus keluar. Aku berusaha melepaskan belitan tali ini dari tanganku.

Ayo lepas, ayo lepas, aku tidak mau mati!

Berhasil! Tali itu terlepas meninggalkan luka perih dan kulitku yang mengelupas.  Tak apa, lebih baik keluar dari pada terkurung di sini. Aku melepaskan hal yang sama pada kakiku.

Walau harus menahan nyeri di perut. Perih di sekujur tubuh. Aku tetap berusaha menggapai pintu. Tidak ada knop yang artinya pintu ini harus dibuka dari luar. Bagaimana ini? Aku makin panik. Aku melirik sekitar, kabut tebal menggumpal memenuhi ruangan. Jantungku semakin lemah berdenyut. Setiap tarikan napas terasa sakit. Menutup hidung pun percuma. Aku menendang-nendang pintu itu dengan kakiku berusaha membuatnya terbuka. Tapi, pintu besi itu sangat kuat. Sangat sulit membuka celah sedikit saja.

"Tolong buka, kumohon. " Aku memukul-mukul dengan tanganku. Tak berdaya. Aku bergeser ke arah kaca. Mereka masih disana mengamatiku.

"Bisakah kalian membukanya? Aku janji, aku tidak akan melakukannya lagi." Mereka diam. Tak bergeming. Wajahku tergambar putus asa.

Apa mereka tidak mendengarku? Aku melihat tangan dan kaca bergantian. Dengan tekad bulat, kuhantamkan tanganku ke kaca persegi itu. Darah mengucur di sana, diikuti serpihan kaca-kaca berjatuhan. Aku mendekatkan wajahku, memasang raut semelas mungkin.

"Tolong, kumohon bukakan pintu ini. Aku janji, aku akan mematuhi perintah kalian. Aku tidak akan uhuk ... berbuat bodoh lagi hhhh .. uhuk... hahhh... aku tidak akan melaporkan kalian uhuk ...uhuk ... uhuk ... " sesuatu mengalir dari bibirku. Tidak bukan hanya dimulut tapi juga dihidung. Darah. Terus mengalir sangat lancar. Tubuhku kian merosot lemah. Aku berpegangan pada lubang kaca.

Karin menatapku sangat senang. Ia melambaikan tangan, "Selamat tinggal, Rin. Kau tidak akan sendiri. Tak lama lagi, ayahmu akan menyusulmu."

"Jangan sakiti uhuk ... " Astaga ini begitu sakit. Tanganku terus menekan dada. Tapi tak juga mereda justru semakin parah seperti ada yang menggerogotinya sedikit demi sedikit.

Mereka akan bergerak keluar tapi pintu diseberang sana menjeblak terbuka.

"Arga!" Air mataku menetes saat matanya berhasil menemukan ku di celah sempit ini.

Wajahnya nampak terkejut lalu mengeras dengan cepat. Rahangnya yang mengencang terlihat sangat jelas di pencahayaan lampu redup di luar. Lalu matanya berganti melirik kedua sosok didepannya.

"Lepaskan dia! Atau aku akan menempuh cara lain."

"Silahkan, aku juga sedang menunggumu Arga Henanta."

Arga menarik sudut bibirnya, membentuk senyum miring dengan pandangan mata berbahaya.

Karin terlihat bingung ditempat. Ia mengendap-endap keluar namun Arga begitu cepat. Ia menarik wanita itu, menghantamkan tinjunya. Karin pingsan seketika. Kemudian ia menyerbu Diego. Mereka terlihat pertarungan sengit. Tidak ada senjata. Semuanya mengandalkan fisik dan pukulan. Kakak Laras beberapa kali mengelak dan menghindar. Kekuatan mereka setara.

Bayangan mereka nampak kabur dalam pandangan mataku, diikuti suara yang hilang timbul ditelinga lalu diisi dengungan bising. Kakiku gemetar menapak lantai.

Suara jatuh menbuatku menoleh. Terlihat ada yang terkapar. Kemudian seseorang menghampiriku. Aku berusaha memfokuskan pandangan. Ia menyentuh pipiku.

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang