Pergi

15.9K 1.1K 5
                                    

Bab 3. Pergi

Cahaya pagi menerangi bumi, menerangi tiap sisi yang gelap. Menghapus jejak-jejak malam, melindungi dunia dari kegelapan. Embun pagi menggenang dari balik dedaunan, menetes jatuh kebawah, menghidupkan  tanah agar kembali subur. Sinarnya merayapi kulit pipiku, seakan menggenggam dengan tangannya yang hangat. Mengelus kulit ini dengan anginnya yang sejuk menyapa. Terlihat burung-burung berkicau di ranting pohon, yang terlihat dari balik jendela. Seberkas ingatan tentang semalam membuat rona merah menjalar dipipi ini, membuat jantung kini berdetak keras seakan akan keluar dari rongga dada. Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Kenapa ia menciumku? Dan apa arti tatapan itu? Dan yang terpenting siapa dia? Kenapa dia menculikku? Pertanyaan-pertanyaan kini berkeliaran dikepala, mencari jawaban atas apa yang terjadi. Namun naas, seperti tidak akan pernah terjawab, karena akupun bingung dengan keadaan ini. Kuusap wajahku dengan kasar atas ketidaktahuanku. Kurebahkan tubuh ini diatas tempat tidur, bahkan semalam aku sulit tidur. Huff.... ini benar-benar melelahkan.

"Ini makanlah."

Aku tersentak mendengar suara itu. Kenapa aku tidak mendengar suara apapun ketika dia masuk? Apa karena aku terlarut akan lamunanku, sehingga tidak mendengar suara pintu terbuka maupun bunyi sepatu. Setelah dia meletakan baki makanan dan berjalan menuju pintu. Aku mencegahnya.

"Tunggu."

Yah, aku harus tau apa alasan dia melakukan ini padaku. Ini adalah kesempatan untuk aku mencari tau. Hirup nafas buang, hirup nafas buang, hirup nafas buang, yah aku siap.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu?"

Ia hanya menaikkan alisnya, seakan pertanyaanku barusan adalah aneh. Ekspresinya tetap datar sama seperti kemarin, lalu mana yang ekspresi semalam, apa itu hanya mimpiku saja? Haaa sudahlah membicarakan dia tidak akan ada habisnya, karena ia seperti buku yang dikunci, kau tidak akan tau apa yang ada didalamnya, jika ia tidak membukanya untukmu. Hanya dia yang tau mana orang yang boleh menyentuh isinya ataupun tidak.

"Boleh aku pergi dari tempat ini?"

Matanya berganti menatapku tajam.

"Baiklah, jika tidak boleh. Kau bisa jelaskan kenapa kau membawaku kemari lalu mengurungku disini? Kau tau aku masih SMA dan harus sekolah."

Ia hanya menatapku dari balik matanya. Tatapannya yang tajam sudah menghilang. Berganti menjadi ekspresi datar. Aku tak tau apa yang ia sembunyikan dari ekspresi datarnya itu. Seandainya saja aku memiliki kemampuan membaca pikiran. Waktu seakan lama, hanya bunyi jam berdentang yang terdengar. Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku? Tapi yang kuperhatikan dari  tadi ia hanya melihatku.

Bunyi telepon memecahkan kebisuan diantara kami. Ia merogoh sakunya dan melihat layar benda persegi itu. ia menekan sesuatu disana dan bunyi itu hilang digantikan dengan benda itu ditempelkanya di telinga. Berbalik kemudian pergi meninggalkan aku yang dari tadi menunggu jawabannya. Ha? Apakah dari tadi ia hanya menganggapku patung? Dia mendengar pertanyaanku tidak sih? Sia-sia saja yang kulakukan dari tadi. Lamunanku terhenti saat terdengar bunyi klik pintu di kunci. Benar-benar pria menyebalkan. Dan dia mencuri ciuman pertamaku! Arrrggghh...

******

Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Aku harus melakukan sesuatu supaya aku pergi dari sini. Seorang wanita paruh baya masuk ke kamar ini, sepertinya itu pelayan yang kemarin. Dimana pria itu? Apa dia tidak ada disini? Sepertinya aku harus bertanya, tidak ada salahnya jugakan. Jika ia pergi sepertinya aku bisa keluar dari sini.

"Silahkan makan nona." Ia menundukkan kepala kemudian hendak pergi.

"Tunggu." Seruanku mencegahnya pergi.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Aku berkata dengan nada kecil, "Dimana pria itu?"

"Maksud anda tuan?" kuanggukan kepala sebagai jawaban.

"Tuan tengah pergi, apa anda ingin menghubunginya. Akan saya sampaikan."

"Tidak" jawabku cepat. Bisa gawat jika pria itu disini.

"Oh iya, kamar mandi itu rusak, airnya tidak keluar. Coba kau lihat?" Mataku melirik ke sebelah kanan bawah. Tidak ingin menatap matanya, takut ia menemukan kebohongan dari pandanganku.

"Baik nona."

"Maafka aku ya." batinku.

Perlahan ia masuk dan mencoba kran wastafel.

"Ini airnya mengalir nona."

"Bukan yang disitu, yang di bathtube. Aku ingin berendam namun airnya tidak keluar." Bohongku lagi.
Setelah ia masuk agak dalam, aku langsung mengunci pintunya dari luar.

"Nona, ini airnya menyala. Nona, nona,nona. Tolong buka pintunya."teriaknya disamping menggedor-gedor pintu.

Aku pergi tanpa menghiraukan teriakannya. Berlari tanpa tujuan, mengitari rumah untuk mencari jalan keluar. Pintu menghadap keluar terbuka, meyakinkanku itu adalah pintu depan. Tanpa alas kaki, ku terjang jalanan aspal didepan rumah. Ini adalah perumahan. Pasti ada satu jalan keluar menuju gerbang. Aku memilih mengikuti jalan utara. Setelah lama berlari, dengan kondisi kaki yang mulai berdenyut sakit dan perih karena terkena beberapa serpihan kerikil. Aku menemukan gerbang keluar, Satpam yang berjaga memandangku aneh. Aku tak menghiraukannya, dan terus melanjutkan langkah. Menembus jalan besar, dan kebingungan melandaku. Disaat seperti itu, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku.

"Butuh tumpangan nona?" tawarnya padaku namun aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutupi topi coklatnya. Hanya hidung dan bibir yang terlihat. Karena tidak enak menolak, lagi pula aku sedang membutuhkan bantuan. Belum lagi aku tidak tau tempat ini dimana, lengkap sudah penderitaanku.

"Nona, habis dari mana? Seperti dikejar sesuatu." tanyanya ketika aku sudah duduk di kursi penumpang.

Apa aku jujur saja ya? Barangkali ia akan membantuku untuk keluar dari sini. Yah, sepertinya tidak apa jika mencoba.

"Saya habis diculik oleh seorang penjahat. Saya tidak tau ia siapa, tapi saya berhasil lolos. Bolehkah saya minta tolong pada anda? Tolong antarkan saya keluar darisini?"

"Penjahat?"

"Ya, dia seorang penjahat." Jawabku ragu-ragu.

"Apakah nona tidak takut pada saya?"

Merasa bingung dengan apa yang ia tanyakan, kenapa harus takut padanya? Dia orang penduduk sini kan?

"Kenapa saya harus takut pada anda?" Aku balik bertanya.

"Anda terlalu polos, tidakkah anda tau penjahat yang sebenarnya adalah saya? Seharusnya anda tidak kabur dari pelindung anda. Tapi itu juga bagus, karena aku tak perlu repot-repot bertarung nyawa dengan orang itu. Hahaha... ternyata ini benar-benar menyenangkan. Bukankah begitu nona?" Di lepasnya topi yang menutupi sebagian kepalanya. Hingga terpampang wajah itu dengan senyum miringnya yang terpantul di kaca spion mobil.

Aku tidak mengenalinya. Tapi niat jahat itu terpancar kuat dikedua bola matanya," kau siapa?"

"Aku?" Ia melirikku dengan senyuman licik, "seseorang yang mengikutimu dua hari yang lalu."

Mataku melebar. Darah seakan raup dari wajahku.

******

Terimah kasih yang sudah membaca cerita saya. Salam hangat ^ ^

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang