Ayah

2.5K 311 12
                                    

Bab 11. Ayah

"Kau tau jawabannya." Jawab Arga kemudian.

Aku mengalihkan tatapan ke arah lain. Kehabisan kata-kata. Memilih membuka buku pelajaran dengan pikiran kemana-mana.

Waktu bergerak begitu cepat. Bel pulang sudah berbunyi nyaring. Seperti kemarin, Arga dan aku pulang berbarengan. Walau aku tak memintanya dan kami masih dalam mode dingin. Dia tetap menemaniku pulang. Menyusuri jalanan aspal kecil dengan kiri pemandangan bentangan laut tanpa batas dan sebelah kanan rumah-rumah penduduk dengan selingan pohon kelapa.

Matahari tak terlalu bersinar terik seperti hari biasanya. Hari ini banyak awan kelabu di langit. Cuaca agak mendung. Angin bertiup dingin. Bagai mendukung suasana diantara aku dan Arga. Sampailah langkah kami di beranda rumahku.

Aku membuka pintu. Melangkah masuk. Menutupnya namun ditahan tangan Arga. Kepalaku mendongak. Bersipandang dengan kedua netra coklat yang menghujam.

Bukannya pergi seperti kebiasaannya yang kemarin, Arga justru membuka pintu lebih lebar. Hingga tanganku terlepas dari ganggang pintu dan ia melangkah masuk tak lupa menaruh sepatunya di rak sepatu yang sudah di sediakan.

"Apa maksudnya?"

"Apa?" Tanya Arga sambil lalu. Ia meletakkan tas di sofa dan duduk disana.

"Kenapa kau masuk?"

"Karena aku ingin."

"Kau tidak ingat apa yang kita bicarakan di sekolah?"

"Sangat ingat. Bukankah aku menakutkan, itu maksudmu kan? Dan kau takut padaku, jadi secara harfiah aku ini berbahaya."

"... ya." Jawabku pelan. Arga mengangguk kemudian menyandarkan punggung lalu memejamkan mata.

Aku memutar bola mataku ketika melihat reaksinya. Haruskah aku mengusirnya secara terang-terangan?

Ah sudahlah ... kalau bosan juga dia akan pergi.

Aku menaiki tangga. Masuk ke kamar. Mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumahan. Lalu ke dapur untuk memasak.

Aroma sedap dari sup yang ku masak menguar ke seisi dapur. Aku mengambil sendok dan mengambil sedikit kaldu disana. Meniup asap panas yang mengepul lalu mencicipinya. Lidahku mencecap segala rasa yang ada sambil menerka apa yang kurang disana. Punggungku merasakan benturan halus. Aku menoleh dan hampir terkejut menatap wajah Arga yang sangat dekat. Hidungku nyaris membentur pipinya. Detak jantungku bahkan sudah tak kurasakan lagi. Tercengang bagai patung, aku hanya mampu diam.

Tangan Arga memegang tanganku yang memegang sendok. Ia melakukan hal yang sama seperti tadi. Lalu mencicipinya.

"Kurang garam."

"Huh? Apa?"

"Kasih sedikit garam lagi."

Aku mengerjab. Otakku masih mencerna ucapannya. Entah kenapa, pikiranku menjadi lambat bekerja. Di tambah lagi tangannya yang masih menggenggam tanganku dan dada bidangnya yang terasa keras di belakang.

Melihat reaksi ku yang lamban, Arga menambahkan sendiri garam ke panci. Di aduknya. Lalu dicicipinya lagi hingga rasanya enak. Tangannya melepas tanganku dan tubuhnya menjauh. Sementara aku berusaha menormalkan detak jantung yang menghentak dada. Tanganku menumpu pada meja mencari pegangan. Jika lama-lama seperti ini, aku bisa terserang penyakit jantung.

.
.
.

Aku melirik jam, sudah pukul empat sore. Mataku melirik Arga yang menonton tv dengan tenang.

"Kau tinggal dimana?"

"Rumah."

Wajahku berganti masam, "Tidak sekalian di bumi? Menyebalkan. Aku serius."

He Is (Not) A Psicopath [Dark Series I] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang